Total Tayangan Halaman

Rabu, 26 Oktober 2011

Etika Politik

ETIKA POLITIK: TEORI DAN PEMAHAMANNYA
Oleh Chynthia Devi

A. Pengertian Etika Politik (berangkat dari Pengertian Moral)

Dalam memahami konsep etika politik, kita harus berangkat dari pemahaman mengenai moral. Moral menyangkut persoalan manusia dengan manusia. Misalnya seseorang yang disukai banyak orang karena kebaikan hatinya meskipun ia kurang dalam segi kualitas profesinya akan tetap dianggap sebagai orang yang baik. Etika politik sendiri menyangkut tanggung jawab dan kewajiban dari manusia sebagai manusia.

Aristoteles mengatakan bahwa identitas manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya terdapat bila warga negaranya baik. Jadi seseorang yang tidak menyukai tindakan amoral dia akan baik sebagai manusia tetapi akan buruk sebagai warga negara bila negara mensahkan tindakan amoral tersebut. Contohnya adalah perjudian dsb.

B. Etika sebagai Cabang Ilmu Filsafat

Etika politik merupakan cabang khusus dalam lingkungan filsafat yang menyangkut atau berkaitan dengan tanggungjawab dan kewajiban manusia, sekali lagi. Dalam hal ini, diutamakan bagi pemegang kekuasaan (politikus, pejabat, dll.) dalam memutuskan kebijakan dan pertanggungjawaban keputusan serta pengaruhnya pada publik. Etika masuk kedalam Ilmu Filsafat yaitu filsafat yang langsung mempertanyakan praktis manusia. Etika politik merupakan etika khusus yang mempertanyakan kewajiban manusia. Contoh etika politik adalah bagaimana seorang pemegang kekuasaan mempertanggungjawabkan kekuasaan dan menjalankan kewajiban atas kekuasaan yang diperolehnya. Hal ini dengan tidak melakukan tindakan-tindakan amoral seperti korupsi, asusila, pembunuhan dll.

C. Korupsi dan Tanggung Jawab Politik Moral

Terdapat sebab-sebab terjadinya korupsi. Ini dapat dihubungkan dengan konsep "Banalisasi," atau disaat suatu hal sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Korban korupsi sendiri sering tidak berwajah, namun justru lebih dahsyat karena yang dirampok adalah uang negara. Banalisasi ini pun terkait dengan konsep "Impersonalisasi Korban Korupsi," dimana korban tidak diperlakukan sebagai pribadi tapi adalah musuh (berupa benda mati). Selain itupun dapat dikaitkan dengan konsep "Lemahnya Kesadaran Reflektif Pelaku Korupsi." Hal ini maksudnya adalah lemahnya kesadaran pelaku korupsi, yang seharusnya kesadaran ini dapat dimunculkan untuk menjaga jarak pada situasi dimana seseorang sadar untuk melakukan/tidak melakukan hal buruk sebagai pertimbangan kritis. Konsep selanjutnya "Impuniti" atau ketiadaannya sanksi hukum dapat menyebabkan korupsi kian merajalela.

Mereka tidak merasa bersalah akibat nikmat yang didapatkannya lebih besar daripada konsekuensi berupa rasa sakit. Prestasi juga sebagai anggapan pantasnya (pejabat, militer, dll.) melakukan korupsi. Maka korupsi sudah menjadi terstruktur, dari korupsi jalan pintas (upeti), tidak merasa bersalah karena dilakukan bersama-sama,
"mekanisme silih kejahatan" bahwa korupsi jika tidak dibagi-bagi justru tidak aman. Orang yang melakukan korupsi atas dasar keamanan, perlindungan seperti pejabat militer yang diletakan didalam direksi perusahaan. Akhirnya ada hubungan dengan tanggung jawab politik moral bahwa korupsi telah meruntuhkan pilar bagi tanggung jawab moral politisi. Korupsi sangat tidak etis dihubungan dengan cara moral bahwa semua pejabat dalam hubungannya dengan birokrasi dibutuhkan oleh masyarakat dan bertanggung jawab atau bertanggung gugat atasnya. Legitimasi etis menuntut hal itu.

D. Legitimasi Etis dan Legitimasi Religius dalam Etika Politik

Masalah legitimasi (legalitas/kesahihan) atau pengakuan dari masyarakat bagi penguasa terutama legitimasi etis diperkuat setelah pendobrakan terhadap legitimasi religius yang secara historis terjadi 2000 tahun yang lalu. Setelah semakin berkurangnya legitimasi religius karena semakin banyaknya kesadaran dan mempertanyakan atas hak dasar/moral apa seseorang berkuasa dan menjalankan kekuasaanya. Legitimasi etis adalah pengakuan secara sah kekuasaan penguasa, ia dipilih oleh masyarakat, diberikan wewenang untuk menjalankan pemerintah, kekuasaannya akan langgeng seiring dengan UU yang dijalankannya. Dan intinya, ia memiliki pertanggungjawaban, mampu diturunkan rakyatnya dan menjalankan etika politik sebagai suatu keharusan.

Etika politik yang tidak memiliki pertanggungjawaban secara moral hanya dimiliki pada kekuasaan yang didapatkan berdasarkan legitimasi religius. Hal ini karena penguasa (biasanya raja-raja Jawa Tradisional), tidak dipilih oleh masyarakat tapi dianggap mampu menjadi perantara dunia manusia dan dunia alam (makrokosmos dan mikrokosmos). Ia dianggap bukan manusia melainkan titisan dewa atau raja yang memiliki kekuasaan adi-dunia (dibahas secara lengkap dalam Pemikiran Politik Indonesia Lama).


Chynthia Devi, S.IP.

Faktor-Faktor yang Mendorong terjadinya Transformasi Pemikiran Politik Amien Rais tentang Relevansitas Federalisme untuk Indonesia antara Tahun 1999-2

"Faktor-Faktor yang Mendorong terjadinya Transformasi Pemikiran Politik Amien Rais tentang Relevansitas Federalisme untuk Indonesia antara Tahun 1999-2010."

Resume Skripsi Ilmu Politik Chynthia Devi

(IISIP Jakarta-NPM: 2007210014)

Resume skripsi ini terkait dengan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mendorong terjadinya Transformasi Pemikiran Politik Amien Rais tentang Relevansitas Federalisme untuk Indonesia antara Tahun 1999-2010.” Adapun pembahasan resume akan dimulai pada bab 1 s/d bab 5, sesuai dengan sistematika yang ditentukan dalam Skripsi.

A. Resume Bab I Pendahuluan

Pada sub bab latar belakang masalah, mahasiswi mengaitkan kajian pemikiran politik Indonesia dengan salah satu tokoh pemikir politik Indonesia pasca orde baru yaitu Moh. Amien Rais. Salah satu pemikiran politik Amien Rais adalah federalisme untuk Indonesia yang dalam masa pemunculannya pada tahun 1999 hingga tahun 2010 tampak membentuk suatu rangkaian transformasi terkait relevansitas penerapan federalisme untuk Indonesia. Maka dijelaskan selanjutnya mengenai latar belakang transformasi pemikiran politik Amien Rais tentang relevansitas federalisme untuk Indonesia antara tahun 1999-2010. Pemikiran ini berawal dari wacana federalisme Amien Rais yang dinaikkannya saat menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) bersama Sekretaris Jenderalnya di PAN, Faisal Basri di penghujung Pemilu 1999 (Manning, 2000, h. 28). Wacana ini adalah akibat tuntutan disintegrasi dari berbagai daerah pasca pemerintahan orde baru yang sentralistis (Malim, 2007, h.3). Saat menaikkan wacana federalisme, Amien Rais mengajukan tiga opsi Indonesia kedepan yaitu: 1) mempertahankan NKRI, 2) memecah Indonesia menjadi negara-negara merdeka, 3) menjadikan Indonesia negara federal. Adapun ia memilih opsi ketiga dengan alasan dapat menciptakan keadilan lebih luas (Afriadi, 2008).

Meski demikian, wacana federalismenya terbatas pada perimbangan keuangan (ekonomi) dan belum sejauh kepada pemisahan negara-negara tersendiri dalam kesatuan persatuan NKRI (Nasution, 1999, h. 21-31). Dari sini ia melanjutkan pemikiran tentang federalisme untuk Indonesia yang mengandung adanya relevansitas federalisme untuk Indonesia sebagai solusi sentralisme orde baru. Namun pemikirannya menunjukan suatu tranformasi yakni ketika ia menyatakan federalisme Indonesia masih relevan namun sudah kebablasan (Malim, 2007, h.3). Ia beralasan ini terkait dengan otonomi yang diterapkan sampai Kabupaten/Kota, padahal federalisme untuk Indonesia yang ditawarkannya hanya sampai tingkat Provinsi. Penerapan ini dimulai sejak tahun 1999 ketika Presiden BJ. Habibie yang dilimpahkan kekuasaan oleh Presiden Soeharto mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hal ini menunjukkan adanya esensi federalisme dalam konteks negara kesatuan saat itu yakni the money follow function sementara sebelumnya di era orde baru diterapkan the function follows money (Nasution, 1999, h.21-31). Selain itu penerapan otonomi sebelumnya sejak tahun 1950-an dianggap pelaksanaannya terbalik hingga tidak pernah dapat dirasakan manfaatnya. Otonomi dikatakan lebih kearah federalisme saat keuangan dipegang di daerah-daerah dalam hal ini otonomi seluas-luasnya.

Pemikiran Amien Rais kembali bertransformasi saat beliau menduduki jabatan politis yakni Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tahun 2004. Ia mengawal Amandemen UUD 1945 yang salah satu hasilnya pada amandemen keempat yakni aturan tambahan dalam pasal 37 ayat 5 yang menyatakan bahwa khusus bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan (Malim, 2007, h. 3). Pada saat menjadi Ketua MPR RI, Amien Rais justru tampak bersikap mempertahankan NKRI daripada mewujudkan pemikiran federalismenya (Najib, 2003). Amien Rais mengatakan Amandemen UUD 1945 adalah salah satu agenda reformasi yang harus dijalaninya, namun ia mengatakan proses kenaikannya menjadi Ketua MPR berasal dari dukungan beberapa pihak yakni Golkar dan PKB. Amien Rais menunjukan sikap yang oportunis untuk meraih jabatan sebagai Ketua MPR sehingga ada dugaan permainan politik yang terjadi didalamnya (Mustakim, 2010, h. 183-5). Pada tahun 2010, saat Amien Rais tidak terlalu aktif dalam kegiatan politiknya, terdapat transformasi terbaru dalam pemikiran politiknya tentang relevansitas federalisme untuk Indonesia. Ia menunjukan harapan kembalinya federalisme untuk Indonesia dalam pernyataan bahwa ia secara jelas berargumentasi bahwa federal itu justru menjamin keadilan ekonomi sosial rakyatnya (Mustakim, 2010, h. 203-5). Pakar Psikologi Politik Indonesia, Dr. Hamdi Muluk mengatakan bahwa kepribadian Amien Rais salah satunya yakni inkonsisten (Muluk, 2010, h. 49). Maka mahasiswi merasa menarik apabila mencoba mencari jawaban ada atau tidaknya hubungan transformasi pemikiran Amien Rais dengan kepribadiannya yang inkonsisten tersebut.

Pada sub bab masalah pokok, mahasiswi memutuskan mengangkat masalah pokok yakni “Sejauhmana Sifat Inkonsisten, Penerapan Otonomi Daerah, Permainan Politik dan Intelektualitas dianggap sebagai Faktor-faktor yang Mendorong terjadinya Transformasi Pemikiran Politik Amien Rais tentang relevansitas Federalisme untuk Indonesia antara Tahun 1999-2010?.” Sementara itu, pada sub bab tujuan penelitian, mahasiswi menetapkan bahwa penelitian pada skripsi ini bertujuan untuk “Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya transformasi pemikiran politik Amien Rais tentang relevansitas federalisme untuk Indonesia antara Tahun 1999-2010.” Adapun pada sub bab kegunaan penelitian, mahasiswi menganggap hasil skripsi ini dapat berguna untuk memperkaya literatur kajian pemikiran politik Indonesia terutama pemikiran politik Indonesia pasca orde baru. Selain itu dapat membuktikan apakah kepribadian seseorang dapat mempengaruhi perubahan pemikiran politiknya. Pada sub bab sistematika penulisan, mahasiswi pun menyesuaikannya dengan ketentuan dalam pedoman skripsi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta (Sekretariat IISIP Jakarta, 2011).

B. Resume Bab II Kerangka Pemikiran

Pada sub bab kerangka konseptual, mahasiswi menjelaskan beberapa konsep-konsep dan teori-teori yang dipergunakan dalam skripsi ini. Adapun konsep-konsep ini yakni: 1) konsep intelektual dan kekuasaan menurut Herbert Feith dan Alfian; 2) konsep federalisme dan negara federal menurut C.F Strong, Miriam Budiardjo, Edi T. Hendratno dan ensiklopedia politik; 3) transformasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia; 4) penerapan otonomi daerah menurut SH Sarundajang, Lili Romli, M. Ryas Rasyid, dan Rozali Abdullah; dan 5) pemikiran politik Amien Rais tentang federalisme untuk Indonesia. Sementara itu, teori-teori yang digunakan adalah: 1) teori permainan (game theory) menurut T.C. Schnelling, Joseph Fletcher dan SP Varma; dan 2) teori psikologi politik menurut Sigmund Freud, Eric Ericson, Robert P. Clark, Ajzen, Sarlito Wirawan Sarwono dan M. Hamdi Muluk.

Konsep mengenai intelektual dan kekuasaan menurut Alfian dan Herbert Feith dijelaskan dimulai dari pengertian intelektual menurut Alfian bahwa intelektual adalah “…seseorang yang menjalani proses pendidikan formal, telah banyak menyadap ilmu pengetahuan dan tidak memonopoli pengetahuannya tapi menyampaikan demi perbaikan masyarakat atau kemanusiaan” (Alfian, 1986). Sementara itu, hubungannya dengan kekuasaan, Alfian mengatakan bahwa “Pada umumnya, walau bersikap kritis, cendikiawan juga tertarik terhadap kekuasaan politik. Oleh karena itu mereka cenderung menerima kesempatan memasuki lingkaran kekuasaan politik dimana mereka berharap bisa lebih mudah dan cepat merealisir ide-ide pemikiran mereka.” Adapun terdapat kekurangan dari Intelektual setelah masuk dalam dunia kekuasaan oleh Alfian dikatakan yakni “…kebanyakan dari mereka sesudah memasuki dunia kekuasaan akan terpesona dengan posisi baru dan lambat laun lupa pada hasil pemikiran mereka sendiri.” Herbert Feith pun mengatakan bahwa “…semakin teraturnya roda pemerintahan, maka semakin terikat kepada kepentingan-kepentingan tertentu, kebutuhan akan keahlian mereka (kaum Intelektual) merosot”. Maka mereka pun menjadi kurang kesadarannya bahwa pemerintah adalah perintis gerakan nasional, bukannya lelah setelah revolusi. (Iberamsjah, 1997, h.17-9).

Konsep federalisme dan negara federal menurut C.F Strong, Miriam Budiardjo, Edi T. Hendratno dan ensiklopedia politik pun akan dijelaskan satu persatu. Menurut Miriam Budiardjo perbedaan antara negara kesatuan dan federal yakni dalam negara kesatuan, wewenang legilatif tertinggi dipusatkan dalam suatu badan legislatif national atau pusat. Sementara didalam negara federal masing-masing negara bagian dan negara federal memiliki legislatif yang memiliki wewenang yang berbeda. C. F Strong menjelaskan perbedaan kedua bentuk negara bahwa kedaulatan negara kesatuan ada pada pusat, sementara kedaulatan pada negara federal dilakukan dengan menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya dan kedaulatan negara-negara bagian (Budiardjo, 2005, h. 139-42). Disisi lain, Hendratno, menjelaskan 5 prinsip dalam sistem federal 1) sistem penyerahan sisa atau residu kekuasaan (reserve of power) kepada negara-negara bagian, 2) penerapan sistem subsidiaritas dalam hubungan pemerintahan negara federal dan negara-negara bagian, 3) hubungan kontraktual atau kesepakatan (contractual linkage) antara negara-negara bagian dan negara federal dalam pembagian kekuasaan (power sharing) dilandasi kaidah pengaturan diri sendiri (self rule) dan pengaturan pembagian nilai (shared rule), 4) pengakuan terhadap pluralisme, dan 5) prinsip unity in diversity (persatuan dalam keanekaragaman) (Hendratno, 2009, h.63).

Di dalam ensiklopedia politik, federalisme adalah “suatu sistem pemerintahan dimana beberapa negara dipersatukan untuk mencapai tujuan bersama, akan tetapi masing-masing negara (bagian) tetap mempertahankan identitasnya sendiri-sendiri” Mengenai perbedaan federalisme dan kesatuan dijelaskan bahwa “…dibawah sistem federal, kekuasaan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian. Dibawah sistem pemerintahan unitaris/kesatuan, semua kekuasaan dijalankan oleh pemerintah pusat dan tidak ada satu pun negara bagian yang mempunyai kekuasaan yang berdiri sendiri” (Cahyono, 1982, h.116). Adapun konsep transformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “1) perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb.); atau 2) perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah atau mengurangi atau menata kembali unsur-unsurnya” (Depdiknas, 2008, h.1484). Disisi lain, konsep penerapan otonomi daerah menurut SH Sarundajang, Lili Romli, M. Ryas Rasyid, dan Rozali Abdullah akan dijelaskan pula satu persatu secara singkat.

Menurut Sarundajang otonomi atau autonomy berasal dari bahasa yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Sarundajang, Otonomi Luas yang ditawarkan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah “memberikan kepada daerah hak untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan tertentu dibidang lainnnya” (Sarundajang, 2001, h.33-5). Sementara itu, Lili Romli menjelaskan bahwa “Konsep Otonomi Daerah, pada hakikatnya, mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif menurut prakarsa sendiri... Oleh karena itu kemandirian daerah suatu hal penting, tidak boleh ada intervensi dari pemerintah pusat. Ketidakmandirian daerah berarti ketergantungan daerah pada pusat.” Terkait hubungan antara otonomi daerah, desentralisasi dan dekonsentrasi, ia mengemukakan bahwa “...pengertian menurut UU Otonomi Daerah, desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah”. Sedangkan sebelumnya ia menjelaskan bahwa “Dalam bahasa UU Otonomi Daerah, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah” (Romli, 2007, h. 5-7).

Menurut Prof. Dr. Ryas Rasyid, Istilah otonomi lebih cenderung berada dalam aspek politik-kekuasaan (political aspect), sedangkan desentralisasi lebih cenderung berada dalam aspek administrasi negara (administrative aspect). Sedangkan, terkait pembagian kekuasaan (sharing of power) ia mengungkapkan bahwa “...kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan erat, dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pula pada pembicaraan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintah yang telah diberikan sebagai wewenang daerah, demikian pula sebaliknya” (Simorangkir, 2000, h. 78). Disisi lain, menurut Rozali, pemberian otonomi luas menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang titik beratnya pada daerah Kabupaten dan Daerah Kota lebih sempurna daripada tuntutan awal Provinsi-provinsi dengan titik berat otonominya hanya sampai pada Provinsi (Abdullah, 2000, h. 83). Pada akhirnya dijelaskan pula mengenai pemikiran politik Amien Rais tentang federalisme untuk Indonesia.

Pemikiran politik Amien Rais tentang Federalisme untuk Indonesia dapat ditelusuri sejak wacana federalismenya bersama Faisal Basri dalam relevansinya dengan perimbangan keuangan pada sektor pertambangan (kasus Freeport), pemikirannya berdasarkan penelitian La Ode Gantara Izhar Malim, hingga tertuang dalam biografinya di tahun 2010. Pemikiran awal Amien Rais bermula dalam wacana federalisme yang menurut Amin paling baik adalah menjadikan negara Indonesia federal, bentuk seperti ini akan memungkinkan terciptanya keadilan Indonesia secara luas (Afriadi, 2008). Amien Rais sendiri menyalahkan pemerintah atas kasus Freeport yang menguras SDA Papua (yang disepakati sebagai imbas kerjasama Soeharto dengan IMF), bahwa pemerintah mengabaikan kepentingan daerah dan lebih berpihak pada korporasi asing. Dalam bukunya pun ia mengatakan kebijakan ekonomi dan kebijakan perimbangan pertambangan Pemerintah pun Yudhoyono Nampak belum berubah dari “kebijakan-kebijakan sebelum reformasi” (Rais, 2008, 255-61). Melalui federalisme, terutama perimbangan keuangan pusat dan daerah akan dianggap dapat lebih memberikan keutungan bagi daerah untuk membangun potensinya.

Menurut hasil penelitian dari La Ode Gantara Izhar Malim Pemikiran Amien Rais, tentang kemungkinan pada masa yang akan datang negara Indonesia menjadi negara federasi muncul setelah melihat adanya ancaman disintegrasi yang terjadi akibat dari sistem pemerintahan negara kesatuan yang sentralistis. Selanjutnya dikatakan bahwa dialog negara federasi sebagai alternatif negara kesatuan menunjukkan bahwa sesungguhnya nasionalisme suatu bangsa tidak harus terpecah hanya kerena negara berganti wajah. Untuk menghentikan sentralisasi yang berlebihan, Amien Rais mengajukan sistem federal karena didasarkan pertimbangan bahwa banyak negara demokrasi justru maju adil dan makmur karena sistem federal seperti Malaysia, Kanada, Jerman, Australia bahkan Amerika. Menurut Amien Rais, untuk mewujudkan negara federal pemerintahan baru harus mempunyai kemauan politik (political will) dalam mewujudkan hal tersebut. Namun demikian, wacana federasi ini masih belum luas serta membutuhkan waktu yang cukup untuk mewujudkannya. Adanya negara federasi sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah fundamental, yaitu ketimpangan dalam bidang sosial, ekonomi, politik serta budaya. Untuk itu wacana negara federasi diperlukan dalam kerangka pemulihan Hak Asasi Manusia (HAM) serta membangun perimbangan antara pusat dan daerah.

Pembagian hasil (revenue sharing) antara pusat dan daerah sangat timpang. Kekayaan alam daerah sangat sedikit dirasakan oleh daerah penghasil. Dengan Kolusi Korupsi dan Nepotismenya, daerah Jawa mendapatkan bagian yang terlalu besar dari hasil tersebut’’. Mengenai pembagian kekuasaan, Amien Rais menghendaki kedaulatan diberikan pada tingkat provinsi. Adapun dalam negara federal nantinya tetap ada perimbangan keuangan antara negara bagian dan negara federal namun untuk secara detailnya harus dirumuskan dengan musyawarah bersama antara pemerintah federal dengan negaranegara bagian. Amien Rais mengajukan tiga fundamentals yang harus ditegakkan untuk membagun negara federal. Yaitu keadilan (al-‘adalah), (as-syuro) dalam arti negara harusdibangun dan dikembangkan dengan mekanisme musyawarah, dan yang ketiga adalah penegakkan prinsip persamaan (almusaawah) sebagaimana Islam dan agama agama samawi tidak pernah membedabedakan manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin (sex), warna kulit (race), status sosial (class) suku bangsa dan lain-lain. Begitu pula dengan prinsip otonomi harus memiliki ketiga aspek itu (Malim, 2007, h. 3).

Disisi lain, pemikirannya selanjutnya menunjukkan adanya harapan pada federalisme untuk Indonesia. Ia berargumen bahwa “…negara federal itu justru menjamin keadilan social ekonomi bagi rakyatnya. Saya harus katakan, lihatlah Jerman, Amerika, Australia, Swiss dan masih banyak lagi yang memakai sistem federal. Ini menunjukkan bahwa sistem federal lebih bisa menjamin keadilan sosial dan ekonomi bagi rakyat. Amien Rais mengatakan perjalanan politik di negara kita sangat menarik ia juga mengatakan perubahan selama ini sebagai,proses yang terus berlangsung. Semoga terjadi dampak yang positif setelah adanya otonomi daerah dan kita akhirnya dapat menemukan bentuk yang pas buat Indonesia” (Mustakim, 2010, h. 203-4).

Setelah memahami konsep-konsep, selanjutnya akan dijelaskan tentang teori-teori dalam skripsi ini. Pertama adalah teori permainan (game theory) menurut TC. Schnelling, Joseph Fletcher dan SP Varma. Menurut SP. Varma, “Teori permainan secara umum didefinisikan sebagai sekumpulan pemikiran yang mengutamakan strategi keputusan yang rasional dalam situasi konflik dan kompetisi, ketika masing-masing peserta atau pemain saling berusaha memperbesar keuntungan dan memperkecil keuntungan.” Schnelling sendiri sebagai pemikir Politik mengembangkan pendekatan teori permainan pada konsep “langkah” atau move danlandasan pemikiran strategis”. Menurut Schelling “kita sudah tahu banyak mengenai perilaku manusia dibandingkan dengan yang diduga teori permainan, yakni bahwa manusia adalah makhluk yang lebih dari sekedar suatu makhluk yang rasional, dan tidak ada alasan mengapa kita tidak harus memanfaatkan pengetahuan itu bagi suatu penyelidikan mengenai penggolongan langkah”. Langkah-langkah ini seperti, “melakukan ancaman”, “memberikan janji”, “melontarkan prakarsa”, mengenali kawan dan lawan”, “mendelegasikan wewenang”, “menerima cara penyelesaian sengketa dengan penengahan”, dan lain sebagainya.

Cara memasukkan konsep-konsep ini oleh Schnelling dengan “memandang langkah tersebut sebagai alternatif hasil yang ingin dicapai seseorang bagi dirinya sendiri”. Sementara mengenai landasan pemikiran strategis, ia menjelaskan bahwa “Pemilihan strategi lebih ditentukan oleh pertimbangan empiris daripada sekedar pekerjaan formal belaka dan mencakup suatu bagian yang penting dari penyelidikan itu, suatu usaha untuk memahami permainan yang “didorong oleh hasrat campuran”. Melihat hal ini, Varma menilai teori permainan bahwa “Teori tersebut menganggap bahwa para pembuat-keputusan benar-benar rasional, tidak memikirkan unsur moral dalam keputusan mereka dan memiliki informasi lengkap yang mungkin mereka peroleh.” Selanjutnya, sepakat dengan Joseph Fletcher, ia berargumen bahwa “Teori permainan tidak tertarik pada etika seseorang, namun hanya pada apa yang disebut sebagai ‘etika situasi’…”. Dalam hal ini dijelaskan bahwa “Pemain menaruh perhatian pada hasil dan bukan proses lanjutan, pada strategi yang mungkin akan dipilih mitranya dan bukan mengapa mitranya tadi memilih strategi tersebut. Dengan kata lain, dia hanya tertarik pada hasil pemilihan tersebut” (Varma, 2007, h. 414-6).

Kedua, teori psikologi politik menurut Sigmund Freud, M. Hermans, Eric Ericson, Robert P. Clark, Ajzen, Sarlito Wirawan Sarwono dan M. Hamdi Muluk. Prof. Dr. Hamdi Muluk, menerangkan “psikologi sebagai sebuah ilmu yang mencoba menjelaskan perilaku politik (political behaviour) sangat mementingkan faktor situasi (konteks) dimana perilaku itu terjadi Menurut M. Hermans, area psikologi politik “pada pokoknya berfokus kepada interaksi antara fenomena politik dan fenomena psikologik, interaksi ini bersifat dua arah (bidirectional)”. Ia melanjutkan tentang cakupan psikologi politik meliput “persepsi, belief, opini, nilai, minat, sikap, mekanisme pertahanan diri serta pengalaman-pengalaman psikis dan politis individu baik sebagai warga negara, pemimpin, anggota suatu kelompok, birokrat, teroris ataupun revolusioner” (Muluk, 2010, h. xiii-v). Beberapa teori Psikologi Politik yang dipergunakan disini diantaranya: “personalitas” politik, dan “sikap” politisi. Personalitas politik menurut Prof. M Hamdi Muluk merupakan pembahasan hubungan antara psikologis manusia dengan kehidupan politiknya. Sigmund Freud mengatakan, “personalitas berisikan tiga elemen, yaitu ego, superego, dan id (Varma, 2007, 265). Super ego mengandung ‘keinginan yang terbentuk secara sosial’ dan berbentuk kesadaran diri atau adat istiadat; ego terlibat dalam ‘pengujian realitas’ dan berbentuk penalaran atau kelayakan; dan id mengandung “tujuan biologis” yang bercermin dalam nafsu/kebiasaan yang melawan arus (counter mores).

Erik Erikson menanggapi Freud menyatakan bahwa ego yang merupakan unsur utama kepribadian lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial (Sarwono, 2002, h. 152). Ajzen membedakan antara sifat dan sikap. Sikap berkarakteristik laten, mengarahkan perilaku, ada unsur penilaian terhadap objek sikap, dan lebih bisa berubah/menyesuaikan. Sementara itu, sifat berkarakteristik laten (tidak tampak dari luar), mengarahkan perilaku, tidak selalu menilai, cenderung konsisten pada berbagai situasi, tidak tergantung penilaian sesaat, dan menolak perubahan (Sarwono, 2002, h. 233). Mengenai terbentuknya sikap, Sarlito menjelaskan pendapat para pakar bahwa sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Ia menyatakan pandangan ini mempunyai dampak terapan yaitu “berdasarkan pandangan ini dapat disusun berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan komunikasi, dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang.” Ini dapat dikaitkan dengan program pendidikan, iklan, hingga kampanye politik. Namun, sikap terutama dibentuk maupun berubah lebih kuat karena pengalaman secara langsung daripada proses belajar (Sarwono, 2002, 251-2). Disisi lain, terkait perubahan-perubahan sikap, Robert P. Clark menjelaskan bahwa sikap dan pandangan diperoleh terakhir setelah ego. Ia menyatakan menurut teori, “sikap-sikap tersebut lebih mudah berubah dan terdesak, apabila diperoleh informasi baru tentang dunia luar, dan oleh karena itu relatif terbuka untuk perubahan dan pengalaman-pengalaman baru.” Erik Erickson menjelaskan hubungan ego dan pahan psikologis bahwa “dimensi-dimensi ego yang paling relevan dengan modernitas psikologis ialah yang ada hubungannya dengan keterbukaan orang terhadap perubahanerub, dengan rasa kemampuan dan optimism, dengan timbang rasa orang lain, dan dengan kecenderungan untuk menerima resiko yang tidak terlalu besar” (Clark, 1989, h. 67-9). Terkait perubahan “sikap” politisi dapat dikategorikan berdasarkan kategori kejiwaan, apakah termasuk tidak konsisten, reformis (pelopor perubahan), adaptif (mengalah untuk sementara), oportunis (memanfaatkan kesempatan), maupun kontraktual (berdasarkan kesepakatan)

C. Resume Bab III Metodologi Penelitian

Pada sub bab paradigma penelitian, penelitian ini menggunakan paradigma politik pasca behavioral atau yang disebut dengan historis. Hal ini sebagaimana Karl Mannheim mengemukakan bahwa “…Perspektif ini memberikan kepercayaan dan nilai-nilai maupun konsep-konsep interpretasi pengalaman seseorang” (Nazir, 2005). Sedangkan kredo pasca behavioral ini meliputi sejumlah doktrin yakni: 1) substansi mendahului tekhnik, bahwa masalah sosial lebih penting dari pada peralatan investigasi; 2) bersifat konservatif dan terbatas pada abstraksi; 3) fakta tidak terpisah dengan nilai; 4) mempertahankan nilai kemanusiaan dan peradaban sebagaimana tanggung jawab intelektual pada masyarakat; 5) mampu menerapkan pengetahuan; 6) masuk dalam kancah perjuangan mutakhir dan berpartisipasi dalam partisipasi institusi-institusi profesi dan akademik. (Varma, 2007, h. 80-1). Selanjutnya, dalam sub bab pendekatan penelitian penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.” Dr. Prasetya Irawan mengklasifikasikan sepuluh ciri-ciri penelitian kualitatif. Secara singkat, cirri penelitian kualitatif yaitu pertama, mengkonstruk realitas makna sosial budaya; kedua meneliti interaksi peristiwa dan proses (terjadinya peristiwa, dll.); ketiga, melibatkan variabel-variabel yang kompleks dan sulit diukur. Selain itu, pada ciri yang keempat, penelitian kualitatif memiliki keterkaitan erat dengan konteks (seringkali kasuistik dan tidak untuk digeneralisasikan); kelima, melibatkan peneliti secara penuh; keenam, memiliki latar belakang alamiah (tidak merubah lingkungan penelitian); ketujuh, menggunakan sampel purposif (mengutamakan kualitas daripada kuantitas); kedelapan, menerapkan analisis induktif (berangkat dari data); kesembilan, mengutamakan makna dibalik realitas; dan kesepuluh, mementingkan petanyaan “mengapa” daripada “apa” (fokus pada apa-apa dibalik peristiwa/kejadian) (Irawan, 2006, 8-h. 12).

Setelah itu, sub bab sifat penelitian oleh mahasiswi ditetapkan bersifat historis. Metode historis memiliki ciri-ciri diantaranya “lebih banyak menggantungkan diri pada data yang diamati orang lain di masa-masa lampau, lebih banyak bergantung pada data primer, meneliti secara tuntas dengan menggali data-data tua yang tidak diterbitkan maupun dikutip dalam acuan standar, dan sumber datanya harus dinyatakan secara definitif dengan diuji kebenarannya..” (Nazir, 2005, h. 48-9). Dalam variannya, penulis memakai sifat penelitian historis kategori bibliografis. Disini yakni mencakup “ hasil pemikiran dan ide yang telah ditulis oleh pemikir-pemikir, dan ahli-ahli. Adapun metode penelitian ini yakni semiotik. Metode ini bertopang pada teori semiotika yakni teori umum tentang tanda dan bahasa. Dan Nimmo menyebutkan bahwa semiotika membahas keragaman bahasa dari tiga perspektif yakni semantika (studi tentang makna), sintaktika (yang berurusan dengan kaidah dan struktur yang menghubungkan tanda-tanda satu sama lain (misalnya tata bahasa), dan pragmatika (analisis penggunaan dan akibat permainan kata (Nimmo, 2000, h. 93). Mengenai sub bab unit analisis, mahasiswi menetapkan unit analisis berupa teks, dengan objek penelitian ini yakni pernyataan-pernyataan Amien Rais antara tahun 1999-2010 mengenai relevansitas federalisme untuk Indonesia; dan subjek penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya transformasi pemikiran politik Amien Rais tentang relevansitas federalisme untuk Indonesia antara tahun 1999-2010.

Pada sub bab tekhnik pengumpulan data, dijelaskan bahwa skripsi ini menggunakan tekhnik review dokumentasi (kajian kepustakaan) atau teknik perpustakaan, terutama buku-buku maupun literatur yang ditulis dan berhubungan dengan Amien Rais. Disisi lain pada sub bab alasan pemilihan informan, mahasiswi menjelaskan beberapa alasan memilih pemikiran Amien Rais. Pertama, Amien Rais adalah salah satu pemikir yang diklasifikasikan kedalam pemikir politik Indonesia pasca orde baru. Ia mulai menjadi politisi pada pasca orde baru dalam Partai Amanat Nasional (PAN). Ia pun melakukan kontrak politik dengan mahasiswa dalam bentuk agenda reformasi (Rais, 1998). Kedua, Amien Rais adalah seorang professional dalam bidang politik. Ia memiliki gelar profesor Ilmu Politik yang didapatkannya dari Universitas Gajah Mada (UGM). Hal ini membuatnya lebih mampu menganalisa masalah maupun fenomena politik yang ada di masyarakat serta memberikan solusi yang menurutnya baik. Sebelumnya, pada tahun 1972, ia mendapatkan beasiswa ke Universitas Notredam, Amerika Serikat untuk mendapatkan gelar MA dalam Ilmu Politik. Setelah hampir satu setengah tahun ia kembali mendapatkan beasiswa di University of Chicago untuk memperoleh gelar doktor.

Disertasinya membawa Amien Rais melakukan penelitian di Mesir dan menjadi mahasiswa luar biasa di Universitas Al-Azhar, Kairo. Ini pun menguatkan posisinya sebagai kaum intelektual Indonesia. Ketiga, Amien Rais adalah tokoh politik yang reformis cerdik dan berani. Ia pandai mengantisipasi setiap situasi politik sehingga patut disebut sebagai “Kancil Politik.” Ia disebut sebagai Bapak Reformasi atau Lokomotif Reformasi sejak dengan berani menaikkan wacana suksesi kepemimpinan di era orde baru dan berhasil mengawal transisi demokrasi sebagai Ketua MPR RI. Ia pernah nyaris ditangkap oleh rejim Soeharto saat menyuarakan suksesi nasional mengganti kepemimpinan Presiden Soeharto setelah 31 tahun kekuasaannya yang berakhir pada pemecatannya di ICMI atas tekanan Soeharto. Ia pun nyaris diculik dan dibunuh saat menguak kasus Ilegall buying product Singapura atas Indonesia. Namun dengan perolehan suara PAN yang minim (9-11%) pada Pemilu 1999, ia berhasil menciptakan strategi poros tengah yang menuai julukan king maker ketika ia berhasil menjadikan Gusdur sebagai presiden sampai dengan ia duduk sebagai Ketua MPR RI (1999-2004) untuk mengawal masa transisi demokrasi.

Reformasi yang tidak berjalan dengan benar dalam praktiknya (ditandai dengan korupsi dalam birokrasi yang meluas) pun menguatkan alasannya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden meskipun ia belum dapat memenangkan pilihan rakyat saat itu. Amien Rais pun berani menyuarakan gagasan melawan state-capture corruption dan berani menguak posisi pemerintah sejak Presiden Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap tidak berpihak pada rakyat dan lebih memihak korporat asing (Rais, 2008). Keempat, Amien Rais adalah tokoh modern yang pro-demokratis namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Ia mengsingkronkan gagasan dari barat maupun timur yang dipelajarinya. Meskipun ia sejak kecil dididik di keluarga Muhammadiyah Solo dan mengikuti sekolah negeri sekaligus madrasah, ia pun berhasil mengenyam pendidikan diluar negeri terkait pemahaman dunia barat (Universitas Chicago) dan dunia timur (Universitas Al-Azhar, Mesir). Maka ia pun berhasil menjadi Ketua PP Muhammadiyah, Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), hingga Ketua Umum PAN. Kelima, ia adalah pelopor wacana federalisme pasca orde baru. Ia yang pertama kali menawarkan opsi federalisme yang dibuat sebagai solusi tuntutan disintegrasi dari berbagai daerah akibat sistem pemerintahan warisan orde baru yang sentralistis dan penerapan otonomi sebelumnya tidak dirasakan di daerah-daerah. Wacana yang awalnya hanya pada perimbangan keuangan menjadi diskusi publik terkait perimbangan kekuasaan dan keuangan yang lebih adil. Otonomi daerah pada saat ini setidaknya tidak lepas dari pengaruh seorang Mohammad Amien Rais.

Akhirnya, pada sub bab tekhnik analisa data, mahasiswi mengikuti pemahaman dari Moh. Nazir dan Prasetya Irawan. Nazir menjelaskan bahwa “analisis adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi, serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca”. (Nazir, 2005, h. 358). Sementara, Prasetya Irawan mengatakan dalam hal ini, data perlu dikategorikan setidaknya berdasarkan ciri-ciri yaitu: 1) harus sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, 2) harus lengkap (exhausted), 3) harus bebas dan terpisah, 4) harus berasal dari satu kaidah klasifikasi, dan 5) harus dalam satu level (Irawan, 2006), h. 58). Berdasarkan ini, mahasiswi menyusunnya kedalam 3 tahapan proses analisa data yakni pertama, pengklasifikasian dan pengurutan data kedalam beberapa inti pernyataan terkait subjek penelitian. Disini dari sumber data akan dicari inti pernyataan-pernyataan terkait subjek penelitian dan pernyataan yang didapatkan dari masing-masing sumber yang telah diklasifikasi menurut kriteria sumber data serta diurutkan sesuai tahun terbit lebih lanjut kedalam beberapa inti pernyataan Amien Rais tentang federalisme untuk Indonesia. Kedua, penyingkatan masing-masing inti pernyataan kedalam hakikat masalah. Pada tahap ini, peneliti akan bertugas melakukan penyingkatan beberapa Inti pernyataan yang sama menjadi suatu hakikat masalah yang menyangkup kandungan semua Inti pernyataan. Ketiga, perumusan faktor berdasarkan hakikat masalah. Akhirnya peneliti harus merumuskan secara seksama faktor terkait subjek penelitian berdasarkan beberapa hakikat masalah yang sebelumnya telah didapatkan.

D. Resume Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada sub bab subjek penelitian, mahasiswi menggambarkan subjek penelitian ini yaitu faktor-faktor yang mendorong transformasi pemikiran politik Amien Rais tentang relevansitas federalisme untuk Indonesia antara tahun 1999-2010. Fokusnya adalah pernyataan-pernyataan Amien Rais dalam transformasi relevansitas federalismenya antara tahun 1999-2010. Didalam sub bab ini pun digambarkan mengenai riwayat federalisme di Indonesia, dan Amien Rais sebagai pelopor wacana federalism yang terdiri dari riwayat nilai-nilai kehidupan Amien Rais, kiprah politik Amien Rais dan sikap-sikap politik Amien Rais. Riwayat federalisme di Indonesia menggambarkan awal mulanya gagasan federalisme yang dimunculkan pertama kali oleh Moh. Hatta. Baginya, nusantara yang secara geografis mempunyai keanekaragaman budaya dan penduduk yang akan berkembang pesat, akan terjadi beban tersendiri jika dibangun dengan sebuah sistem yang terpusat (Afriadi, 2008). Deliar Noer pun mengatakan bahwa Hatta tidak bersikeras dalam pendiriannya, dan bersedia mengikuti pendapat terbanyak yaitu Negara kesatuan, dengan catatan bahwa otonomi daerah dikembangkan” (Noer, 1990, h. 387).

Riwayat federalisme pun berlanjut saat dalam perjalanannya, bangsa Indonesia menjadi negara federal pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949-1950 (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1997, h. 227-39). Namun bentuk ini tidak bertahan lama karena pertama, dalam sistem parlementer, terjadi perebutan kursi-kursi yang akhirnya makin tajam. Dua partai yang pada mulanya bekerjasama dengan baik, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Islam Masjumi, bersama beberapa partai lainnya yang menjadi partai tengah (seperti Partai Sosialis Indonesia, Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo)) menjadi kian carut-marut (Alfian, 1991, 114-5). Kedua, dalam militer pun seperti masih adanya keengganan dikalangan TNI bekerjasama dengan bekas anggota KNIL. Ketiga, pasal 43-44 konstitusi RIS yang memungkinkan penggabungan satu negara dan negara lainnya. Hingga sampai tanggal 5 April 1950 hanya tersisa 3 Negara Bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 ditandatangani piagam persetujuan kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1997, h. 227-39). Keempat, tidak ada anggapan urgensitas pada bentuk Negara federal. Negara federal RIS tetap tidak sempurna karena pemerintahan tetap berpusat di ibu kota yang tidak terpisah dari negara-negara bagian lainnya. Selain itu daerah pun tidak memiliki militer yang memadai sehingga masih bertumpu pada militer pusat.

Riwayat ini pun berujung pada pasca orde baru, saat wacana federalisme yang dimunculkan Amien Rais dengan PAN sebagai kendaraan politiknya. Amien Rais sebagai pelopor wacana federalisme pasca orde baru akan ditelusuri melalui, nilai-nilai kehidupannya sejak kecil, kiprah politik sampai dengan sikap-sikap politiknya. Perubahan Pemikiran Amien Rais dipengaruhi oleh sikapnya yang terbentuk melalui proses belajar maupun pengalaman secara langsung. Oleh karena itu riwayat hidup Amien Rais sejak dalam lingkungan keluarga, maupun sosial akan dijelaskan terkait kebutuhannya mendapatkan nilai-nilai kehidupan Amien Rais. Adapun nilai-nilai yang didapatinya dari lingkungan keluarga, terutama ibundanya Sudalmiyah yakni: 1) Menuntut Ilmu setinggi mungkin. Ibunya selalu menasihati “dalam hidup yang penting adalah keyakinan kita kepada Allah. Kemudian, sebagai manusia kita harus menjadi mukmin yang tidak pernah berhenti belajar. Urusan nanti akan jadi apa di masa dewasa/ masa tua sudah sesuai dengan takdir masing-masing.” 2) konsistensi dan keistiqamahan dalam berorganisasi. Mengenai pentingnya berorganisasi, ibunya mengatakan “Organisasi dari kata ‘organ’; sesuatu yang hidup; sesuatu yang bergerak; sesuatu yang berjalan kedepan.” Maka, kalau bermalas-malasan bukanlah berorganisasi.

Ibunya pun yang mendorongnya untuk menjadi aktivis dan pemimpin Muhammadiyah sejak ia sekolah dasar sampai pentingnya bersekolah agama.; 3) disiplin dalam beragama, dan semangat dakwah bersamaan. ibunya selalu mengawasi kedisiplian Amien Rais dalam beribadah. Ia pun menanamkan nilai bahwa “sesungguhnya Islam menanamkan nilai dakwah bersamaan yaitu amar makruh nahi munkar (mengerjakan kebaikan dan mencegah kemunkaran).” Kita akan disukai kalau mengajak orang berbuat kebaikan, tapi jika kita mencegah kemunkaran akan muncul elemen-elemen masyarakat yang tidak menyukai kita (Mustakim, 2010, h. 9-11). Amien Rais memandangnya sebagaimana dua sayap pada pesawat. Pesawat tidak akan dapat terbang hanya dengan satu sayap. Jika hanya makruf dan tidak benahi munkar, maka seluruh kemakrufan yang dibangun akan dibabat habis oleh kemunkaran yang tidak pernah dipukul balik.

Sementara itu nilai-nilai dari lingkungan sosial didapatinya bersamaan dengan pendidikannya. Adapun nilai-nilai yang didapatinya yakni: 1) kesederhanaan. Solo, tempat Amien Rais sejak kecil dikatakan masih sederhana dan bersahaja, belum dimasuki teknologi seperti saat ini; 2) kegigihan dan kedisiiplinan mencari ilmu. Guru sekolahnya selalu mengatakan “orang harus berbadan sehat, harus bangun pagi dan tidak boleh malas”; 3) memberitahu kesalahan orang lain secara sopan. Ia kagum pada gurunya yang menghadapi orang bersalah tidak dengan mempermalukannya didepan umum. Namun dengan bicara empat mata, menanyakan alasan, dan menasihatinya, serta memberi kesempatan padanya; 4) pentingnya waktu. Ia juga diajarkan untuk tidak melewatkan waktu yang tidak perlu; 5) tidak menilai segala sesuatu dari fisik seseorang, namun dari keihlasan dan kedalaman ilmunya. Ia memahami nilai wisdom of life (kearifan hidup) bersahaja, keikhlasan, dan kedalaman ilmu tidak mengenai fisik maupun dari kalangan manapun (Mustakim, 2010, h. 16-7); 6) nasionalisme. Era orde lama (1962-1965), semua mahasiswa harus lulus Manipol Usdek. Ia menyadari, indoktrinisasi dapat pelan-pelan merubah pemikiran masyarakat termasuk dirinya bahwa revolusi belum selesai dan pancasila lebih tinggi daripada deklarasi kemerdekaan Amerika maupun manifesto komunis. Bahwa ada kebanggaan sebagai bangsa besar yang mendiami teritori dari Sabang sampai Merauke dengan kerukunan cantik dan semboyan Bhineka Tunggal Ika; 7) mendidik dengan cara jujur, santun, cerdas, ikhlas dan humoris; 8) dunia timur lebih unggul daripada dunia barat. Sehingga, tidak perlu minder dan rendah diri menghadapi barat yang secara ekonomi dan teknologi saat itu lebih unggul ; 9) ilmu lebih tinggi daripada harta; 10) etos intelektual. Hal ini bahwa intelektual sejati tidak pernah menjadi robot dan punya tanggung jawab sosial dan tanggungjawab intelektual terhadap apa yang terjadi dikalangan bangsa dan negaranya (Mustakim, 2010, 22-33).

Mengenai kiprah politiknya dapat dijelaskan dalam sikap-sikap politiknya yaitu sikap politik reformis saat ia menyuarakan pentingnya suksesi kepemimpinan nasional di era orde baru (Najib, 2003, h. 83), mengangkat wacana negara federal, dan menyuarakan perlawanan terhadap State Capture Coruption. Ia dengan berani menyuarakan pentingnya suksesi kepemimpinan nasional sejak tahun 1994 di era orde baru. Ia pun adalah salah satu pelopor yang bersedia menjadi calon presiden apabila Soeharto lengser, yang tidak pernah berani dilakukan tokoh-tokoh sebelumnya. Pentingnya suksesi yakni bahwa pertama, pemimpin nasional saat itu telah berlangsung sejak 1967 hingga pada 1998 akan menjadi 31 tahun. Ini dikaitkan dengan aksioma politik Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan mutlak cenderung korup secara mutlak pula. Kedua, pimpinan nasional yang terlalu lama berkuasa dapat melahirkan penyakit kultus individu. Ketiga, suksesi, rotasi atau regenerasi elit adalah sebuah keharusan dalam system demokrasi. Keempat, kelompok elit yang terlalu lama memegang kekuasaan atau pemerintahan cenderung mengalami penumpulan visi dan kreatifitas. Kelima, lapisan elit yang lama berkuasa akan meyakini dirinya sebagai personifikasi stabilitas dan eksistensi negara yang membahayakan demokrasi. Sikapnya yang reformis ini dibarengi dengan solusi-solusi yang di bawanya. Ia menggambarkan lima persoalan besar paska suksesi yakni demokratisasi, pemerintahan yang bersih, penegakkan keadilan sosial, pembangunan sumber daya manusia dan persatuan dan kesatuan bangsa.

Disisi lain dan yang paling utama, saat Amien Rais mengangkat wacana Federalisme, sikapnya yang reformis tampak saat bersama sekjennya, Faisal Basri (Manning, 2000, h. 28-30) mendukung perimbangan keuangan dalam sistem federal. Ia dijadikan bulan-bulanan politik karena dianggap menjadikan federalism sebagai “jualan” dari PAN. Namun pemikiran Amien Rais tetap terus berlanjut hingga memunculkan diskusi publik secara luas dan berwujud pada otonomi daerah seluas-luasnya yang dirumuskan oleh pemerintah. State Capture Coruption sendiri terkait sikap politis yang disuarakan olehnya dalam suatu buku “Agenda mendesak Selamatkan Indonesia”. Buku ini laris dan juga banyak dikritik karena secara blak-blakan menolak sistem neolib. Ia dipengaruhi oleh Joseph Stiglitz peraih nobel perdamaian dan menyatakan agar kaum muda berani melawan korupsi yang lebih berbahaya yakni korporatokrasi asing yang dalam sejarah Indonesia justru didukung oleh pemerintah sendiri. (Rais, 2008, h. 226-37).

Sementara itu, sikap politik adaptif ditunjukkannya saat ia keluar dari ICMI pasca kasus Busang era orde baru, membentuk PAN, King Maker dalam Strategi Poros Tengah, dan saat mencalonkan diri sebagai Presiden. Di dalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), meskipun Amien Rais adalah salah satu deklaratornya, ia harus mengundurkan diri setelah diterpa kasus Busang atas keinginan Soeharto (Uchrowi, 2004, h. 171). Namun, ini tonggak awal saat ia membentuk Majelis Amanat Rakyat (MARA) pada mei 1998 sebagai payung perubahan politik bersama tokoh-tokoh seperti Emil Salim, Goenawan Moehammad, Arbi Sanit, dsb. Akhirnya ia mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Pemilu Legislatif tanggal 7 Juni 1999 dimana 48 partai bertarung menghasilkan keputusan dimana Amien Rais berhasil menjadi anggota DPR/MPR melalui Partai PAN. Setelah hasil pemilu tersebut dikatakan bahwa “Hari-hari setelah itu diisi Amien dengan pertemuan-pertemuan politik. Amien bertemu dengan berbagai tokoh penting. Diantaranya dengan Gus Dur, Hamzah Haz, juga Akbar Tanjung. Habibie, yang saat itu menjadi presiden, pernah pula mengundang kerumahnya dikomplek Patra Jasa-Kuningan” (Uchrowi, 2004, h. 246). Sikapnya yang adaptif menerima agar ia mengundurkan diri dari ICMI atas tekanan Soeharto. Namun dibalik itu ia kembali lagi bersama strategi-strategi baru mulai dari mendirikan partai hingga menjadi King Maker. Ia tetap dikatakan penggagas anti-Soeharto. Julukan sebagai King Maker karena melalui poros tengahnya menciptakan Presiden terpilih keempat yakni Abdurrahman Wahid. Menurut Uchrowi, strategi Poros Tengah Amien Rais membawanya menjadi Ketua MPR, yakni “Strategi Poros Tengah memperlihatkan bahwa Amien kian piawai berkecimpung dikancah Politik. Amien sungguh-sungguh memperjuangkan Gusdur untuk menjadi Presiden. Proses pemilihan Presiden akan langsung dipimpin oleh Ketua MPR. Maka, Gus Dur akan berkepentingan pula untuk mendukung Amien menjadi Ketua MPR. Dengan strategi itu, dukungan terhadap Amien pun mengalir”

Sikap politik kontraktual ditunjukkannya saat menyusun Agenda Reformasi bersama mahasiswa dan mengamandemen UUD 1945. Sikap kontraktual digambarkan saat ia menyepakati lima agenda reformasi bersama mahasiswa di tahun 1998. Salah satu dari agendanya adalah amandemen UUD 1945 yang akan dilakukan dalam empat tahap. Setelah menjadi ketua MPR ia melaksanakan tugas ini dengan baik. Setelah menjadi Ketua MPR, ia berhasil mengamandemen UUD 1945 melalui empat tahapannya. Pada akhirnya, hasil Amandemen tersebut diantaranya, perubahan masa jabatan presiden yang dibatasi maksimal sepuluh tahun (dua kali masa jabatan), Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, ABRI yang kembali ke barak (tidak berpolitik), mengunci bentuk NKRI, mengubah kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya dimana MPR tidak dapat memilih presiden dan/wakil presiden yang sekarang dipilih langsung, dan memberikan otonomi seluas-luasnya bagi daerah, pembentukkan Mahkamah Konstitusi, menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20% APBN, dan lain sebagainya.

Namun, sikap politik oportunis juga ditampakkannya saat terjadi konstelasi memperebutkan jabatan politis sebagai Ketua MPR RI (1999-2004). Amien Rais naik sebagai ketua MPR, dimana ia akan memimpin Amandemen UUD 1945 didukung oleh tokoh-tokoh Partai Golkar dan PKB. Ia menerangkan bahwa ada permohonan Hamzah Haz agar menggantikannya menjadi kandidat calon ketua MPR karena akan kalah bersaing dengan Matori Abdul Jalil, yang didukung PDIP dan kelompok yang lain. Amien Rais dalam tulisannya pun menjelaskan bahwa ia mendapat dukungan dari golkar melalui A.M. Fatwa yang juga telah berkoordinasi dengan Hamzah Haz. Ia didukung kebanyakan tokoh Golkar dengan alasan ia “…bisa memahami konteks kepentingan Negara modern seperti Indonesia” (Mustakim, 2010, h. 183-5). Amien Rais tampak oportunis saat mengatakan bahwa harus ada jaminan ia akan menang, karena ini adalah pertaruhannya bersama teman-temannya.

Dalam sub bab hasil penelitian, maka mahasiswi menggambarkan hasil penelitian yang didapati berdasarkan review dokumen. Faktor Sifat Inkonsisten tidak terbukti menjadi faktor pendorong transformasi pemikiran Amien Rais tentang relevansitas federalisme di Indonesia antara tahun 1999-2010. Pengamat psikologi politik menilai bahwa Amien Rais memiliki sifat kepribadian yang inkonsisten. Namun transformasi pemikirannya tidak berhubungan dengan kepribadiannya yang inkonsisten. Hal ini terjadi sebagai keharusan dari tuntutan akibat sentralisme Orde Baru atau bentuk pemerintahan yang sentralistis yang menyebabkan tuntutan disintegrasi dari berbagai daerah pada saat wacana federal dimunculkan olehnya. Ini pun diikuti oleh pengetahuan intelektualnya (intelektualitas) dalam mencari alternatif bagi negara kesatuan. Sehingga tidak terbukti mengikuti kecenderungan sifatnya yang sering berubah-ubah.

Faktor Penerapan Otonomi Daerah dan Intelektualitas terbukti menjadi faktor pendorong transformasi pemikiran Amien Rais tentang relevansitas federalisme di Indonesia. Amien Rais berubah karena keadaan yang membuatnya harus berubah yakni munculnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai formulasi kebijakan di masa pemerintahan B.J. Habibie. Melalui UU ini otonomi dilakukan sampai tingkat Kabupaten/Kota dan telah melebihi federalism yang hanya sampai tingkat Provinsi. Faktor Permainan Politik tidak terbukti menjadi faktor pendorong transformasi pemikiran Amien Rais tentang relevansitas federalisme di Indonesia, namun terkait jabatan politisnya, saat menjadi ketua MPR, mulai menguat keyakinan bahwa Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah pemersatu bangsa sehingga tanpa federalisme masih dapat terjalin kesatuan dan persatuan. Ini dibuktikan pula dengan keputusan parlemen yang mewakili aspirasi rakyat yang akhirnya lebih memilih mengunci bentuk NKRI melalui Amandemen Keempat. Ia pun menyatakan bahwa MPR adalah lembaga politik yang netral sehingga tidak ada keberpihakan terutama permainan politik didalamnya.

Selanjutnya, pada sub bab pembahasan, mahasiswi pun membahas hasil penelitian maupun hipotesis awal berdasarkan teori yang dimiliki. Dalam analisa hipotesis awal berdasarkan teori dimulai dengan faktor pertama dalam hipotesis awal yaitu sifat inkonsisten Amien Rais. Pada mulanya penulis menganggap sifat kepribadian Amien Rais yang inkonsisten dapat mempengaruhi sikap Amien Rais dalam transformasi pemikiran politiknya. Sigmund Freud mengatakan kepribadian terdiri dari ego (terkait pengujian realitas/sikap), id (tujuan biologis/sifat), dan super ego (keinginan yang terbentuk secara sosial/adat istiadat). Erik Erickson menyatakan bahwa sikap terbentuk lebih banyak dipengaruhi faktor sosial. Mengenai modernitas psikologis maka seperti yang dijelaskan Erik Erikson bahwa dimensi-dimensi ego yang paling relevan dengan modernitas psikologis ialah yang ada hubungannya dengan keterbukaan orang terhadap perubahan. Robert P. Clark pun mengemukakan bahwa sikap-sikap lebih mudah berubah dan terdesak apabila diperoleh informasi baru tentang dunia luar. Hal ini khususnya berlaku untuk individu-individu yang lebih modern, dan oleh karena itu, relatif terbuka untuk perubahan dan pengalaman-pengalaman baru. Prof. Sarlito menyatakan sikap dibentuk dipengaruhi oleh proses belajar dan pengalaman secara langsung. Namun lebih didominasi oleh pengalaman secara langsung.

Maka kita akan menilai perubahan sikap Amien Rais dalam pemikirannya berdasarkan faktor sosial dan lingkungan hidupnya. Dalam masalah Amien Rais perubahan pemikirannya awalnya menggambarkan sikapnya tidak setuju terhadap mekanisme sentralisme warisan Orde Baru. Ini dipengaruhi oleh faktor sosial, yakni kuatnya tuntutan daerah untuk melepaskan diri dari NKRI (disintegrasi), menurut kategori kejiwaan Amien Rais dalam awal wacananya memiliki sikap yang reformis atau pelopor perubahan. Ini sesuai dengan posisinya sebagai pemikir politik pasca orde baru pertama yang menaikkan wacana ini. Terkait transformasi bahwa federalisme masih relevan namun sudah ‘kebablasan’ berupa otonomi hingga Kabupaten/Kota juga dapat dikaitkan dengan pengaruh faktor kondisi sosial saat itu yakni era otonomi daerah dimana otonomi penerapannaya mengandung esensi federal yakni bottom up dan money follow function seperti yang dikatakan Andi Malaranggeng. Sementara itu, kita dapat memahami inrelevansi federalisme paska Amandemen UUD 1945, dalam kondisi sosial masyarakat yang diwakili oleh DPR yang menginginkan bentuk NKRI dikunci (tidak dapat dilakukan perubahan) dalam aturan tambahan UUD 1945 pasal 37 ayat 5. Di era Abdurrahman Wahid terutama telah terpenuhi konsensus dengan perwakilan masing-masing daerah yang hasilnya adalah kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk NKRI. Di tahun 2010, Amien Rais tidak lagi aktif dalam kancah politik pasca menjadi Ketua MPR dan mencalonkan diri sebagai presiden. Ia dikatakan tengah mendalami kegiatan akademisnya. Faktor sosial dapat juga berpengaruh seperti halnya pengalaman hidup. Ia menyatakan dalam bukunya bahwa saat menaikkan wacana federalisme ia dikeroyok oleh berbagai pihak karena dianggap membahayakan NKRI dan dijadikan bulan-bulanan prasangka politik. Maka dari sisi psikologis, kejauhannya pada kancah politik mengembalikan kembali romantisme pemikirannya tentang relevansitas federalisme untuk Indonesia. Ini menggambarkan perubahan yang terjadi akibat ia telah melepas jabatan politisnya. Namun, perubahan sikap tergantung dari individu tersebut yang relatif dapat terbuka untuk perubahan atau tidak. Amien Rais dalam hal ini lebih dianggap sebagai orang yang terbuka terhadap perubahan-perubahan maka faktor sosial yang terjadi sangat mempengaruhi pemikirannya. Oleh karena itu, sifat inkonsisten bukanlah faktor yang mendorong transformasi pemikiran Amien Rais.

Faktor kedua yakni penerapan otonomi daerah berupa otonomi luas berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Penulis pada awalnya menganggap bahwa diciptakannya otonomi hingga tingkat kabupaten/kota membuat Amien Rais harus mengubah pernyataannya bahwa relevan menerapkan federalisme untuk Indonesia menjadi relevan dengan prakondisi. Prakondisi yang dimaksudkan karena gagasannya berbeda dengan tingkat otonomi yang diterapkan di Indonesia masa Habibie. Otonomi yang ditawarkan Amien Rais hanya sampai tingkat Provinsi, sementara pemerintah menetapkan hingga kabupaten/kota. Berdasarkan konsep otonomi maka, Indonesia memang mengadopsi sistem pemerintahan daerah yang unik, karena meskipun bentuknya Kesatuan, dengan otonomi, pengelolaannya seperti negara dengan sistem federal. Desentralisasi atau penyerahan wewenang dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah dilakukan hingga tingkat kabupaten dan kota dengan otonomi provinsi yang terbatas. Hasilnya daerah-daerah didorong untuk mandiri, ini tidak jauh berbeda dengan Negara-negara bagian dalam sistem federal. Pada Negara federal, sistem residu atau sisa kewenangan menggambarkan bahwa wewenang negara federal sebagaimana wewenang yang menjadi kepentingan bersama seperti masalah kebijakan luar negeri, moneter dan fiscal dan sebagainya. Hal ini membuat Negara bagian atau provinsi dapat mengurus sendiri kebijakannya, tidak jauh berbeda dengan otonomi khusus di Indonesia. Maka berdasarkan teori, penerapan otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah memang seperti pengelolaan negara federal namun dengan tingkat otonominya dibuat berbeda dengan gagasan federalisme untuk Indonesia Amien Rais yang menawarkan otonomi hanya sampai pada tingkat provinsi.

Faktor ketiga yakni permainan politik terkait jabatan politis Amien Rais sebagai Ketua MPR RI (1999-2004). Naiknya Amien Rais sebagai Ketua MPR RI seiring dengan sempat tenggelamnya gagasan federalisme beliau mengindikasikan adanya permainan politik terkait jabatan politis yang dapat disepakati. Menurut teori permainan politik sebagaimana diasumsikan Schelling bahwa ada sekumpulan pemikiran yang mengutamakan strategi keputusan yang rasional dalam situasi konflik dan kompetisi, ketika masing-masing peserta atau pemain saling berusaha memperbesar keuntungan dan memperkecil keuntungan. Jabatan Politis Amien Rais yang saat itu diperoleh melalui suara terbanyak parlemen menggambarkan pentingnya dukungan atas berbagai kalangan. Hal ini pun sesuai dengan konsep permainan Schnelling dimana ada “…tindakan pemilihan yang dilakukan oleh para pemain tidak hanya harus sesuai dengan apa yang mereka harapkan dari pemilihan itu, tetapi juga yang diharapkan oleh pemain lainnya.” Dalam penggolongan langkah, ia menjelaskan adanya langkah-langkah ini terutama ”mengenali kawan dan lawan”, dan “mendelegasikan wewenang” Maka, adanya dukungan suara dengan keuntungan dua belah pihak dapat dianggap sebagai permainan politik dalam hal ini elit-elit partai Golkar dianggap memberikan penawaran bagi mayoritas suara partainya untuk menaikkan Amien Rais sebagai ketua MPR. Apabila terdapat kesepakatan bahwa Amien Rais harus melupakan gagasan federalismenya, maka permainan politik benar-benar terbukti.

Faktor keempat yakni intelektualitas Amien Rais untuk pendidikan demokrasi masyarakat Indonesia. Posisi Intelektualitas Amien Rais dianggap sebagai elit politik yang berasal dari kalangan intelektual. Ia adalah Profesor Politik UGM dengan jaringan Muhammadiah dan ICMI. Intelektual menurut Alfian adalah seseorang yang merasa berkepentingan untuk memikirkan secara rasional dan sepanjang pengetahuannya tentang bagaimana sesuatu masyarakat atau kemanusiaan dapat hidup lebih baik. Maka, dari pernyataan Amien Rais yang mengandung pengharapan bahwa ia menganggap federalisme dapat memberi keadilan dan kesejahteraan bagi beberapa mayoritas Negara demokrasi maju di dunia secara tidak langsung membuatnya berperan sebagai intelektual yang mengemban misi mendorong kemajuan lingkungannya. Namun, hasil penelitian berdasarkan review dokumen menunjukkan ternyata terdapat faktor-faktor tambahan disamping juga ada beberapa faktor yang tidak dapat dibuktikan, maupun mendapat perubahan. Beberapa faktor tambahan yakni keyakinan Amien Rais pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai Pemersatu Bangsa, keunggulan yang dimiliki sistem federal mengatasi disintegrasi dan mengelola potensi daerah, NKRI sebagai pilihan bangsa dalam keputusan pada Amandemen UUD 1945 tentang penguncian bentuk NKRI, dan jabatan politis Amien Rais. Disisi lain faktor sebelumnya yang tidak terbukti yakni permainan politik dan sifat inkonsisten Amien Rais. Disisi lain faktor intelektualitas telah terbukti dan ada perubahan pada faktor penerapan otonomi daerah yakni penerapan otonomi daerah sebagai penopang NKRI.

E. Resume Bab V Penutup

Pada sub bab kesimpulan dijelaskan bahwa hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan terdapat 6 faktor yang mendorong transformasi pemikiran politik Amien Rais mengenai relevansitas federalisme di Indonesia antara tahun 1999-2010, diantaranya adalah: 1) Intelektualitas Amien Rais untuk Pendidikan Demokrasi Masyarakat Indonesia; 2) Keyakinan Amien Rais pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai Pemersatu Bangsa; 3) Keunggulan yang dimiliki sistem federal mengatasi disintegrasi dan mengelola potensi daerah; 4) Penerapan Otonomi Daerah sebagai Penopang NKRI; 5) NKRI sebagai pilihan bangsa dalam keputusan pada Amandemen UUD 1945 tentang penguncian bentuk NKRI; dan 6) Jabatan Politis. Namun kesemua faktor tersebut apabila dirangkaikan dalam transformasi pemikiran politik Amien Rais tentang relevansitas federalisme untuk Indonesia mengandung penyebab perubahan pemikiran Amien Rais. Pada fase awal disebut sebagai fase reformis dimana Amien Rais berubah ke fase adaptif karena penerapan otonomi daerah. Pada fase kedua yakni fase adaptif menuju fase kontraktual saat Amien Rais mengunci NKRI yang disebabkan jabatan politisnya sebagai Ketua MPR, keyakinannya pada Pancasila sebagai pemersatu bangsa, dan konsensus atas pilihan NKRI. Pada fase ketiga fase kontraktual ke fase idealisme berupa harapan pada relevansitas disebabkan karena kelebihan sistem federal dan intelektualitasnya. Pada akhirnya fase keempat idealisme ke fase reformis kembali berupa harapan pada relevansitas federalisme.

Pada sub bab saran diberikan beberapa rekomendasi yakni pertama, kaum intelektual yang menjadi politisi perlu berhati-hati mengeluarkan pernyataan intelektual, karena pernyataannya dapat dianggap sebagai pernyataan politis yang syarat prasangka kekuasaan. Kedua, masyarakat harus dicerdaskan pendidikan politiknya agar tidak mudah dimobilisasi, maupun diprovokasi semata terkait dengan situasi politik disekitarnya. Ketiga, seperti pendapat Prof. Ichlasul Amal, penguncian NKRI dalam UUD 1945 tidak serta merta mengunci UU tersebut, karena dasar negara tersebut dapat saja “diganti” melalui fungsi pasal 3 UUD 1945.

Daftar Pustaka

Adnan Buyung Nasution, dkk. (1999). Federalisme untuk Indonesia. Jakarta: Kompas.

Alfian. (1991). Tingkah Laku Politik di Negara Asia Tenggara. Jakarta: IISIP Jakarta.

Alfian. (1986). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Amien Rais, dkk. (1998). Amien Rais Berjuang Menuntut Perubahan. Yogyakarta: Pena Cendikia.

Bagus Mustakim, dan Nurhuda Kurniawan. (2010). Amien Rais - Inilah Jalan Hidup Saya. Yogyakarta: Insan Madani.

Bonar Simorangkir, dkk. (2000). Otonomi atau Federalisme Dampaknya terhadap Perekonomian. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Harian Suara Pembaruan.

Cheppy Hari Cahyono. (1982). Ensiklopedia Politika. Surabaya: Usaha Nasional.

Chris Manning, dan Peter Van Diermen. (2000). Indonesia ditengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara.

Dan Nimmo. (2000). Komunikasi Politik: komunikator, Pesan, dan Media. Cetakan Ke-4. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Depdiknas. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Deliar Noer. (1990). Mohammad Hatta-Biografi Politik. Jakarta: LP3S.

Edie Toet Hendratno. (2009). Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme. Yogyakarta: Graha Ilmu dan Jakarta: Penerbit Universitas Pancasila.

Hamdi Muluk. (2010). Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Iberamsjah, (1997). Intelektual sebagai Kekuatan Politik di Indonesia. Jurnal Kampus Tercinta Vol.4, Tahun 1/April 1997. Jakarta: Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta.

Imam Hidajat. (2009). Teori-Teori Politik. Malang: Setara Press.

La Ode Gantara Izhar Malim. (2007). Pemikiran Politik Amien Rais tentang Federalisme untuk Indonesia. unidayan.ac.id.

Lili Romli. (2007). Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Miriam Budiardjo. (2005). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Mohammad Amien Rais. (2008). Agenda Mendesak Bangsa-Selamatkan Indonesia!. Yogyakarta: PPSK Press.

Moh Nazir. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Muhammad Najib, dan Irwan Omar. (2003). Putera Nusantara - Mohammad Amien Rais. Singapura: Stamford Press PTE Ltd.

Prasetya Irawan. (2006). Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Depok: DIA Fisip UI.

Robert P. Clark. (1989). Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Rozali Abdullah. (2000). Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme sebagai Suatu Alternatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Sanusi Afriadi. (29 Maret 2008). Negara Federal sebagai Solusi Dari Permasalahan Bangsa. adi-rawi.blogspot.com.

Sarlito Wirawan Sarwono. (2002). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Sekretariat Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. (2011). Pedoman KKL, Seminar, dan Skripsi. Jakarta: Sekretariat Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1997). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia

SH. Sarundajang. (2001). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

SP Varma. (2007). Teori Politik Modern. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Zaim Uchrowi. (2004). Mohammad Amien Rais Memimpin dengan Nurani. Jakarta: TERAJU (PT. Mizan Publika).