Total Tayangan Halaman

Rabu, 26 Oktober 2011

DERADIKALISASI TERORISME PASCA SBY

DERADIKALISASI TERORISME PASCA SBY

Oleh: Chynthia Devi

Prakata

Pasca SBY, satu dasawarsa terakhir marak bermunculan aksi-aksi teror disegenap wilayah di Indonesia meskipun aksinya tidak jelas mengandung apa maksud ataupun tujuannya (underground). Hal ini seperti korban-korbannya yang ‘amnesia’ setelah diculik hingga kehilangan nyawa karena terkena bom. Terorisme sendiri dibagi menjadi terorisme agama, maupun terorisme politik (gerakan separatis). Ini seperti yang dilakukan pemerintahan pasca SBY terutama sejak serangan terorisme di Amerika Serikat (AS) yang memunculkan dugaan jaringan terorisme global hingga ke Indonesia yang mayoritasnya muslim. Deradikalisasi atau pelemahan terorisme merupakan program pemberantasan terorisme. Penanganan terorisme yang kompleks menyebabkan dibutuhkannya peran berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang ada. Pada tahun 2011 terdapat program deradikalisasi yang dilaksanakan BNPT. Beberapa pakar di Indonesia yang dipakai yakni telah merumuskan program derasikalisasi terorisme ini seperti Dr Petrus Reinhard Golose (dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Direktur Penindak BNPT), dan Ansyad Mbai (Ketua BNPT). Disisi lain kita dapat melihat model penanganan terorisme Sidney Jones (Direktur Internasional Crisis Group), maupun negara lain seperti Belanda.

Perihal terorisme agama, meskipun Indonesia bukan negara separatis sepenuhnya karena terdapat lembaga agama, namun Indonesia juga bukan negara agama seperti Vatikan maupun Israel. Pancasila sebagai dasar negara hanya memberikan kebebasan dan toleransi terhadap segenap umat beragama dan tidak menegaskan ideologinya kepada salah satu agama saja. Hal ini sangat sulit bagi negara berkembang dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Setiap terorisme diidentikan dengan umat Islam, apalagi ada para tokoh-tokoh agama yang justru memberikan nilai kurang baik dengan memuji teroris yang tewas, disisi lain adapula yang menolaknya. Tulisan ini menawarkan pentingnya memberikan pemahaman pada masyarakat tentang fenomena deradikalisasi terorisme model baru yang terjadi di Indonesia pasca SBY. Terorisme model baru sendiri sangat merugikan karena disisi lain menciptakan citra buruk bagi Indonesia di mata dunia maupun memakan korban dari kita sendiri. Disisi lain, tidak ada tujuan yang jelas dari pada gerakan teror ini. Hal ini tidak akan dapat terhapus kecuali ada keberhasilan Indonesia memerangi terorisme. Manfaat tulisan ini yakni ada pengetahuan yang berimbang terkait program deradikalisasi terorisme. Selain itu kita dapat mencari bersama berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya bagaimana mendapatkan formulasi terbaik bagi penanganan deradikalisasi terorisme terutama pasca SBY.

Urgensitas Deradikalisasi Terorisme Pasca SBY: Citra Buruk Indonesia sebagai

Jaringan Terorisme Global dan Maraknnya Korban Terorisme Underground

Terorisme dalam Undang-Undang No.2 tahun 2004, terkait dengan tindak kekerasan atau ancaman yang menimbulkan korban massal. Sementara itu menurut B.N Marbun terorisme sebagai “penggunaan kekerasan biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, aksi teror tersebut digunakan sebagai media promosi kepentingan politiknya, sehingga dunia menjadi tahu apa yang mereka perjuangkan.David Hinsa menyatakan terorisme di Indonesia belakangan marak dikaitkan dengan ajaran islam, atau apa yang dikenal dengan jihad. Namun ia mengatakan aksi teror tadi tidak semata-mata dilakukan suatu kelompok berlatarkan agama, tapi juga berlatarkan gerakan separatisme.[1] Terorisme sendiri dikatakan memiliki penanganan yang kompleks akibat terorisme juga termasuk pelanggaran HAM, politik, agama hingga tindak kriminalitas.[2] Secara politik, terorisme berlawanan dengan etika politik.

Terutama radikalisme terorisme agama, berakar dari Radikalisme Islam pertama muncul ketika Sarikat Islam (SI) yang didirikan H O.S. Cokroaminoto terpecah (terutama ekstrim dalam SI Merah). Setelah SI Merah berakhir, muncul DI/TII, yaitu sebuah gerakan yang ingin mendirikan negara Islam. Radikalisme kembali muncul setelah 2001, pasca tragedi 11/9 atau sera­ngan teroris ke AS pada 2001 membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang dituduh memiliki jaringan terorisme global dengan membawa-bawa ajaran Islam.[3] Hal ini membuat Indonesia yang notabene adalah negara dengan mayoritas muslimnya terbesar di dunia dituduh anggota teroris yang disebut-sebut paling dibenci AS. Ini dibuktikan dengan makin maraknya kasus bom buku hingga penculikan yang menghasilkan korban rusaknya infrastruktur dan kecacatan sampai dengan korban “amnesia.” Puncaknya adalah vonis 15 tahun yang dijatuhkan terhadap Abu Bakar Ba’asyir atas tindak pidana terorisme di tahun 2011 dengan sebelumnya peristiwa dunia menggambarkan tewasnya pimpinan Al-Qaeda, Osama Bin Laden.

Sebelumnya Presiden SBY sendiri tampak sangat concern terhadap masalah terorisme. Dimulai dengan cara mempersuasif masyarakat sebagai perimbangan cara konvensional (aksi penangkapan), cara soft power dengan bekerjasama dengan ulama disetiap lapas sampai pada usulan membentuk RUU Intelejen yang dapat melegalkan penyadapan, penahanan dan penangkapan orang-orang yang berpotensi menyebar teror atau terhubung langsung dengan terorisme. Namun seperti yang telah diketahui, cara soft power tetap tidak mampu menghilangkan terorisme. Disisi lain, RUU Intelejen ini justru banyak ditentang oleh aktivis Hukum dan HAM, pers, dan kalangan pro-demokratis yang menuduhkan berbagai niat negatif pemerintah daripada manfaatnya.

Pemerintah SBY dalam “Perang Melawan Teror”

Pada tahun 2008, upaya deradikalisasi dilakukan dengan cara pencegahan dini yang fokusnya mempersuasikan masyarakat agar tidak tersesat dalam pemahaman yang salah, apalagi sampai berpartisipasi dalam kelompok teroris.[4] Hal ini dilakukan dengan penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat, penguatan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pencegahan terorisme. Selain itu, cara ini bertujuan untuk mengimbangi upaya pemberantasan terorisme melalui cara konvensional, misalnya penggerebekan, penangkapan, sampai dengan penghentian aksi teror. Sementara pada tahun 2009, Presiden SBY mengatakan mengenai bahaya terorisme bahwa, “terorisme adalah perang merebut hati dan pikiran”[5]. Saat itu juga terdapat suatu program deradikalisasi terorisme dilakukan oleh pemerintah dengan cara soft power yakni bekerja sama dengan para ulama di lembaga pemasyarakatan. Menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Untung Sugiyono yang diutamakan adalah di dalam LP ada kerja sama dengan Densus 88 untuk mengetahui persis apa peran mereka di luar. Karena, kita tidak punya data. Itulah yang kita gali melalui proses atau program. Program ini khususnya dibuat atas koordinasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Intelejen Negara (BIN), Detasemen Khusus Anti Teror 88, dan Departemen Agama., mengatakan, “Terorisme adalah masalah ideologi sehingga penanganan masalah terorisme begitu kompleks.”[6]

Pada Bulan Juli tahun 2011, mulailah apa yang disebut dengan perang melawan teror (war on terror). Dalam menjawab vonis 15 tahun penjara karena tindak pidana terorisme bagi Abu Bakar Baasyir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai pelurusan pemahaman agama umat atau deradikalisasi adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, umat agama, dan orang tua.[7] Ia mengatakan bahwa tanggungjawab ini dapat “Mencegah saudara-saudara kita dari melakukan tindakan yang menyimpang dari ajaran agama apalagi hukum adalah tanggung jawab semua pihak.” Menurut Presiden, umat negara manapun-tidak hanya Islam-pasti memerlukan bimbingan dalam menjalankan agamanya. Ia kemudian mencontohkan bahwa tewasnya pemimpin Alqaeda, Osama bin Laden, tewas, juga muncul gerakan dari pihak-pihak sealiran dengan tokoh Al Qaeda itu yang seakan-akan mendukung tokoh itu. Namun, Presiden pun menyatakan kepercayaannya pada masyarakat Indonesia. Ia mengatakan “Tapi saya yakin untuk kasus Indonesia pasti lebih banyak lagi yang tidak menyukai terorisme, tidak mendukung cara-cara kekerasan,… mereka yang tidak mendukung biasanya memang diam, yang disebut sebagai silent majority.”[8] Pada tahun ini pun diterapkan program deradikalisasi, yang dilakukan oleh BNPT.

Mengenai programnya, masih dilakukan cara-cara soft power. Dr Petrus Reinhard Golose, direktur pelaksana BNPT yang juga menulis buku perihal program deradikalisasi terorisme ini menyusun formula penawar gejolak radikalisme terorisme melalui tiga kunci. Hal ini terutama berhubungan dengan konsep yang diistilahkan sebagai humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput. Adapun ketiga cara ini ditujukan terutama untuk menangani terpidana terorisme maupun korban terorisme yang telah terpengaruh melakukan teror yang sama. Ini dikatakan penting untuk memberantas terorisme hingga keakar-akarnya. Dalam 3 kunci yang pertama yakni humanis berisi “upaya pemberantasan terorisme haruslah sesuai dengan upaya penegakan hak asasi manusia.” Selain itu, “harus mampu menciptakan kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan bagi seluruh masyarakat, bagi para tersangka, ataupun terpidana terorisme.” Sementara itu, Soul approach berarti “pemberantasan terorisme dilakukan melalui suatu komunikasi yang baik dan mendidik antara aparat penegak hukum dan para tersangka ataupun narapidana terorisme, bukan dengan cara-cara kekerasan dan intimidasi.”Akhirnya, yang dimaksudkan dengan menyentuh akar rumput adalah “suatu program yang tidak hanya ditujukan kepada para tersangka ataupun terpidana terorisme, tetapi program ini juga, menurutnya, diarahkan kepada simpatisan dan anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal. Serta menanamkan multikulturalisme kepada masyarakat luas.”[9]

Ini merupakan reorientasi deradikalisasi yang terjadi di Indonesia berdasarkan pengalamannya. Program tersebut pun sedang dijalankan oleh perwakilan kedutaan negara-negara sahabat dan swasta, Surya Darma Salim dan menghasilkan suatu keberhasilan yang patut dilanjutkan usahanya.[10] Sebelumnya, Surya mengatakan, dirinya hanya berusaha untuk mendekatkan diri dengan tersangka dan terpidana terorisme sehingga dapat diketahui cara pandang dan pola pikir mereka dan dapat menjalin komunikasi dengan mereka. Ia mengatakan, “Saya memiliki pandangan bahwa siapa pun yang saya tangkap, maka jadikan dia sahabat.” Disisi lain, Ansyad Mbai, Ketua BNPT mengatakan akan terus tidak efektifnya penenganan terorisme yang ada di Indonesia apabila ada dukungan dari pemimpin agama itu sendiri. Ia menyayangkan sikap beberapa ustad yang justru memuji teroris yang meninggal sebagai martir. Ia pun menambahkan bahwa, “percuma polisi bekerja keras di lapangan, sementara setiap saat muncul teroris baru karena apa yang dilakukan dianggap sebagai pahlawan atau suhada.”[11] Hal ini berarti bukan saja peran pemerintah yang penting dalam memberantas radikalisasi terorisme, namun apabila tidak ada dukungan dari masyarakat hal ini pun akan sia-sia. Selain itu, diperlukan “payung hukum untuk menaunginya”. Ini dikaitkan dengan UU anti-teror yang dianggap belum dapat mencegah aksi teror. Ia pun beranggapan “program deradikalisasi tersebut perlu dijadikan program nasional.”[12]

Namun, beberapa kalangan gerakan muslim menganggap program ini menjiplak dokumen Rand Coorporation Kongres Amerika Serikat. Permasalahann utamanya adalah terdapat disakredit bahwa terorisme terkait ideologi ekstrimis yaitu jihad, padahal jihad merupakan roh perjuangan umat Islam. Munarman SH mengatakan bahwa “program deradikalisasi terorisme adalah proyek menghapus ideologi jihad yang merupakan ruh perjuangan umat Islam. Proyek ini menjiplak dari dokumen Rand Corporation yang disampaikan di Kongres Amerika Serikat (Juli 2007).”[13] Ia pun menyebutkan bahwa ada makar BNPT dalam memberangus jihad yakni keberadaan Satgas Antibom yang dikomandani oleh Gories Merre. Satuan bagian Densus 88 yang berada di bawah BNPT ini bertugas sebagai eksekutor tembak mati tanpa proses hukum bila polisi tidak bisa menangkap orang yang dituduh sebagai teroris.

Solusi-Solusi Para Pakar

Sidney Jones, Direktur Internasional Crisis Group merumuskan program deradikalisasi terorisme bahwa yang utama adalah pemantauan dari penegak hukum terhadap eks (mantan) teroris. Hal ini karena para mantan terpidana teroris terbukti masih setia membantu jaringannya dalam melakukan aksi teror dan juga pemantauan dapat berguna agar para mantan teroris tidak kembali melakukan teror (dalam hal ini diistilahkannya sebagai jihad). Adapun agar legal dilakukan perlu disusun aturan tentang eks teroris oleh pemerintah dan dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Menurutnya salah satu cara yang dapat dilakukan adalah “para eks teroris tersebut mengikuti program lapor dalam rentang waktu yang ditentukan pihak kepolisian.” Selain itu, “intelijen kepolisian juga tidak membiarkan mereka bergerak leluasa tanpa pemantauan.” Ia menegaskan jangka waktu pemantauan dalam pernyataannya yakni “Orang yang telah bebas karena tindakan terorisme harus diawasi bukan hanya satu tahun, tapi misalnya lima tahun.”[14]

Pemerintah Belanda yang pernah mengalami masalah terorisme pun menciptakan program dalam menghadapi terorisme ini.[15] Mereka meminta masukan dari peneliti radikalisme terkenal yakni Froukje Demant. Froukje Demant menyarankan agar pemerintah sekuler dapat, “lebih terbuka untuk argumen-argumen religius dan kaum muslim moderat harus mengajak sesama muslim yang radikal masuk ke mainstream Islam yang damai.” Pemerintah Belanda sendiri melakukan beberapa aksi seperti Dinas intelijen Belanda AIVD yang terus memantau atau melakukan supervisi atas lembaga-lembaga agama yang dianggap rentan menumbuhkan ide-ide radikal atau berpotensi membahayakan keselamatan banyak orang. Begitupun dengan Polisi Belanda yang akan menyelidiki siapa pun yang berani memuji aksi kaum radikal. Menurut media Belanda, “salah satu kekeliruan pemerintah Indonesia adalah terlalu membiarkan atau tidak melakukan supervisi atas lembaga agama yang terbukti menyuburkan paham radikalisme.” [16]

Formula ‘X’

Berdasarkan gambaran diatas maka dapat disusun suatu istilah ‘Formula X’ sebagai penanganan yang baik mengenai deradikalisasi terorisme pasca SBY. Dalam formula ini dijelaskan langkah pertama yaitu penanganan deradikalisasi perlu dukungan dari berbagai pihak, bukan hanya pemerintah tapi juga segenap stakeholdernya. Ini terlihat dengan tidak adanya kesepakatan tentang definisi terorisme dari pemerintah maupun pihak-pihak terutama yang mewakili organisasi muslim sehingga terjadi kesalahpahaman dan prasangka. Untuk itu maka kedua, perlu diadakannya pertemuan yang mewadahi kesepahaman ini. Seperti saran Froukje Demant agar pemerintah “lebih terbuka untuk argumen-argumen religius dan kaum muslim moderat harus mengajak sesama muslim yang radikal masuk ke mainstream Islam yang damai.” Langkah ketiga, perlunya disusun payung hukum yang jelas.

Langkah terakhir ini meliputi 5 langkah lanjutan yakni 1) perlunya supervisi bagi lembaga yang menyuburkan paham radikalisme. Ini berarti ada defence terhadap penanaman budaya radikalisme; 2) perlunya disusun mekanisme pemantauan dari penegak hukum terhadap eks (mantan) teroris. Ini meliputi program lapor pada kurun waktu tertentu, namun dengan tetap berpegang pada HAM; 3) sanksi yang seberat-beratnya bagi terpidana teroris diimbangi sosialisasi maksimum terhadap bahaya terorisme sejak dini bagi masyarakat; 4) terdapat sanksi pula bagi aparat yang melakukan pelanggaran HAM, dan ketentuan pelanggaran HAM seperti pemaksaan dan perlakuan fisik tanpa adanya bukti yang cukup dan 5) pentingnya merencanakan dan mencari solusi bersama segenap stakeholder terkait dana deradikalisasi yang cukup besar.

Penutup

Kesimpulan

Deradikalisasi Terorisme Paca SBY terutama sejak 2008-2011 telah dilakukan dengan cara konvensional maupun soft power. Cara konvensional berupa pencarian hingga penangkapan secara langsung tersangka teroris, sementara soft power telah dilakukan mulai dari program yang difokuskan pada persuasi masyarakat tentang bahaya terorisme; cara yang difokuskan pada peran ulama di masing-masing lembaga pemasyaraktan; hingga upaya pendekatan humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput seperti yang disebutkan Dr Petrus Reinhard Golose, direktur pelaksana BNPT yang telah dilaksanakan di negara-negara lain. Namun, menurut ketua BNPT, ansyad Mbai hal ini tidak didukung oleh tokoh-tokoh agama dimana terdapat stigma terorisme sama halnya dengan jihad. Begitupun kritikan dari beberapa perwakilan organisasi tentang kekerasan dengan ‘tembak mati’oleh Densus 88. Terdapat ketidaksepahaman maupun kesamaan mengenai konsep terorisme antara pemerintah dan stakeholder-nya. SBY sendiri mengatakan perlu adanya tanggungjawab bersama terkait deradikalisasi. Terdapat beberapa solusi dari para pakar, diantaranya perlunya pengawasan bagi eks (mantan) terorisme, maupun perlunya pemerintah membuka diri terhadap masukan-masukan kalangan muslim maupun kalangan muslim yang harus bersatu dalam perdamaian. Selain itu juga terdapat kritikan bahwa kelemahan pemerintah Indonesia adalah tidak adanya supervise bagi lembaga-lembaga yang menyuburkan radikalisme.

Rekomendasi:

Diistilah suatu ‘Formula X’ atau rumusan penanganan yang baik mengenai deradikalisasi terorisme pasca SBY. Dalam formula ini dijelaskan langkah pertama yaitu penanganan deradikalisasi perlu dukungan dari berbagai pihak, bukan hanya pemerintah tapi juga segenap stakeholdernya. Untuk itu maka kedua, perlu diadakannya pertemuan yang mewadahi kesepahaman ini. Langkah ketiga, perlunya disusun payung hukum yang jelas. Langkah terakhir ini meliputi 5 langkah lanjutan yakni 1) perlunya supervisi bagi lembaga yang menyuburkan paham radikalisme; 2) perlunya disusun mekanisme pemantauan dari penegak hukum terhadap eks (mantan) teroris; 3) sanksi yang seberat-beratnya bagi terpidana teroris diimbangi sosialisasi maksimum terhadap bahaya terorisme sejak dini bagi masyarakat; 4) terdapat sanksi pula bagi aparat yang melakukan pelanggaran HAM, dan ketentuan pelanggaran HAM seperti pemaksaan dan perlakuan fisik tanpa adanya bukti yang cukup dan 5) pentingnya merencanakan dan mencari solusi bersama segenap stakeholder terkait dana deradikalisasi yang cukup besar.



[1] David Hinsa T., S.H. (2008). Upaya Penanganan Dini Tindak Terorisme. multiply.com.

[2] Ibid. Manurut david, Perbuatan pidana mengenai terorisme diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam BAB VII KUHP tentang perbuatan yang membahayakan keamanan umum, termasuk salah satunya peledakan yang menimbulkan korban nyawa (pasal 187 ayat (3) KUHP). Maka, perbuatan terorisme merupakan bagian dari lapangan hukum pidana. Begitupun dalam segi hukum, dipakai pendekatan kriminologi, terutama pendekatan Sosial Budaya Struktural oleh J.E Sahetapi untuk mengetahui penyebab terorisme. Terorisme terjadi bisa akibat sosial terkait kegagalan penyesuaian diri dengan nilai dapat membuat orang berprilaku menyimpang dari harapan masyarakat. Selain itu terorisme juga akibat budaya, bahwa budaya berbeda-beda bisa menimbulkan kerancuan kategori tindak pidana. Akhirnya aspek struktural, Aspek struktural (ekonomi, politik, dan sosial) dapat menimbulkan konflik, seperti halnya pembangkangan akibat kekecewaan terhadap penguasa.

[3] Endang Suryadinata. (20 Agustus 2009). Deradikalisasi Ala Belanda. Wordpress.com. Menurut A.M. Hendropriyono, “Al Qaidah ada di balik jaringan teroris di Indonesia. Berbagai ledakan bom dengan korban besar terjadi, mulai bom Bali I pada 2002, bom Bali II 2005, hingga bom Mega Kuningan 2009.” Polisi Indonesia, khususnya tim Densus 88, terus memburu teroris pasca ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Mega Kuni­ngan pada 17 Juli 2009. Meski penyergapan di Temanggung hanya menangkap Ibrohim dan bukan Noordin, itu bukan hasil yang terlalu buruk, mengingat peran Ibrohim dominan.

[4] Hinsa T. Op. Cit.

[5] Suryadinata. Op. Cit. Dalam pernyataan SBY yang dimuat di Jawa Pos, 12 Agustus 2009.

[6] Selamat Ginting, et all. (28 Oktober 2009). Deradikalisasi Terorisme. republika.co.id. Ia pun menjelaskan bahwa pada Agustus tahun 2009 terdapat sebanyak 124 narapidana teroris yang ada di seluruh Lapas se-Indonesia. Di Nanggroe Aceh Darusalam satu orang, Sumatra Utara tujuh orang, di Cipinang ada 18 orang, Lapas Narkotika ada 3 orang, dan Rutan Jakarta Pusat ada 1 orang. Di Tangerang, Banten, ada 4 orang, Jawa Barat 2 orang, Jawa Tengah cukup banyak ada 28 orang, Jawa Timur 21 orang, Bali 2 orang. Kemudian di Sulawesi Selatan tiga orang, Sulawesi Tengah ada 30 orang, Sulawesi Barat ada 2 orang, dan di Lapas Ambon, Maluku, ada 1 orang. Dari 124 orang ini, ada kriteria pelaku teroris dan mungkin tidak sama arah politiknya. Di Jawa Tengah merupakan pindahan dari Bali terkait kasus Bom Bali. Di Jakarta itu ada macam-macam, ada Bom Marriot dan BEJ yang merupakan kelompok yang berbeda. BEJ berkaitan dengan pergerakan GAM. Sementara di Ambon terkait dengan gerakan separatis, seperti Cokolele. Jadi, teror antaragama. Juga, di Palu (Sulteng).

[7] Metro TV News. (16 Juni 2011). SBY: Deradikalisasi Tanggungjawab Bersama. Presiden dalam konferensi pers di Hotel Imperial Tokyo, 16 Juni 2011.

[8] Ibid.

[9] Mardanih. (20 Agustus 2009). Deradikalisasi Terorisme, Program Pemberantasan Terorisme. kompas.com.

[10] Waspada Online. (21 Agustus 2009). Deradikalisasi Butuh Payung Hukum. waspada.co.id.

[11] Suryadinata. Op. Cit.

[12] Waspada Online. Op. Cit.

[13] Bekti Sejati. (04 Austus 2011). Deradikalisasi Terorisme: Proyek Menjiplak AS yang Memerangi Ideologi Jihad. voa-islam.com. Dalam acara bedah buku “Kritik Evaluasi dan Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia” yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo di Masjid Baitul Makmur Solo Baru Sukoharjo, Jumat, 31 Juli 2011. Pembicaranya terdiri dari dr. Jose Rizal (Mer-C), Munarman, S.H. (direktur An-Nashr Institute Jakarta dan Ketua Bidang Nahi Munkar FPI Pusat), dll.

[14] Inilah.com. (2009). Eks Teroris Jangan Dibiarkan Bebas. wordpress.com.

[15] Suryadinata. Op. Cit.Dikatakan bahwa, ”Radikalisme itu memuncak pada terbunuhnya politikus Belanda Pim Fortuijn pada 2002 dan sineas Theo van Gogh pada 2004, yang dinilai telah melecehkan Islam.”

[16] Ibid. Selain itu mereka juga meminta masukan dari pemikir maupun peneliti Timur seperti Abdul Karim Soroush (Iran) namun tetap segaris dengan iklim kebebasan Belanda.

1 komentar:

  1. PENDAFTARAN BELA NEGARA
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

    Untuk Wali Wali Allah dimana saja kalian berada
    Sekarang keluarlah, Hunuslah Pedang dan Asahlah Tajam-Tajam

    Api Jihad Fisabilillah Akhir Zaman telah kami kobarkan
    Panji-Panji Perang Nabimu sudah kami kibarkan
    Arasy KeagunganMu sudah bergetar Hebat Ya Allah,

    Wahai Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang
    hamba memohon kepadaMu keluarkan para Muqarrabin bersama kami

    Allahumma a’izzal islam wal muslim wa adzillas syirka wal musyrikin wa dammir a’da aka a’da addin wa iradaka suui ‘alaihim yaa Robbal ‘alamin.

    Wahai ALLAH muliakanlah islam dan Kaum Muslimin, hinakan dan rendahkanlah kesyirikan dan pelaku kemusyrikan dan hancurkanlah musuh-mu dan musuh agama-mu dengan keburukan wahai RABB
    semesta alam.

    Allahumma ‘adzdzibil kafarotalladzina yashudduna ‘ansabilika, wa yukadzdzibuna min rusulika wa yuqotiluna min awliyaika.

    Wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. orang-oramg kafir yang telah menghalang-halangi kami dari jalan-Mu, yang telah mendustakan-Mu dan telah membunuh Para Wali-Mu, Para Kekasih-Mu

    Allahumma farriq jam’ahum wa syattit syamlahum wa zilzal aqdamahum wa bilkhusus min yahuud wa syarikatihim innaka ‘ala kulli syaiin qodir.

    Wahai ALLAH pecah belahlah, hancur leburkanlah kelompok mereka, porak porandakanlah mereka dan goncangkanlah kedudukan mereka, goncangkanlah hati hati mereka terlebih khusus dari orang-orang yahudi dan sekutu-sekutu mereka. sesungguhnya ENGKAU Maha Berkuasa.

    Allahumma shuril islam wal ikhwana wal mujahidina fii kulli makan yaa rabbal ‘alamin.

    Wahai ALLAH tolonglah Islam dan saudara kami dan Para Mujahid dimana saja mereka berada wahai RABB Semesta Alam.
    Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin

    Wahai Wali-wali Allah Kemarilah, Datanglah dan Berkujunglah dan bergabunglah bersama kami kami Ahlul Baitmu

    Al Qur`an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para Da`i yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, Kami akan bawa anda untuk mengikuti jejak langkah penghulu para rasul Muhammad SAW dan pemimpin semua umat manusia.

    Hai kaumku ikutilah aku, aku akan menunjukan kepadamu jalan yang benar (QS. Al-Mu'min :38)

    Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
    para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya Khilafah yang dijanjikan.

    Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

    Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia Allah yang Antum miliki.

    301. Pasukan Bendera Hitam
    Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik Musuh Islam

    302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
    - ahli segala macam pertempuran
    - ahli Membunuh secara cepat
    - ahli Bela diri jarak dekat
    - Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan

    303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi Pasukan Rahasia
    - Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat / Jauh
    - Ahli Pembuat BOM / Racun
    - Ahli Sandera
    - Ahli Sabotase

    304. Pasukan Bendera Hitam
    Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam

    305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan Rahasia Cyber Death
    - ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
    - Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
    - Ahli enkripsi cryptographi
    - Ahli Satelit / Nuklir
    - Ahli Pembuat infra merah / Radar
    - Ahli Membuat Virus Death
    - Ahli infiltrasi Sistem Pakar

    Semua Negara adalah Negara Dajjal, sebab itu
    Bunuhlah Tentara , Polisi dan semua pendukung negara dajjal dimana saja berada

    Disebarluaskan
    MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
    PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

    Syuaib Bin Shaleh
    singahitam@hmamail.com

    BalasHapus