Total Tayangan Halaman

Rabu, 26 Oktober 2011

Etika Politik

ETIKA POLITIK: TEORI DAN PEMAHAMANNYA
Oleh Chynthia Devi

A. Pengertian Etika Politik (berangkat dari Pengertian Moral)

Dalam memahami konsep etika politik, kita harus berangkat dari pemahaman mengenai moral. Moral menyangkut persoalan manusia dengan manusia. Misalnya seseorang yang disukai banyak orang karena kebaikan hatinya meskipun ia kurang dalam segi kualitas profesinya akan tetap dianggap sebagai orang yang baik. Etika politik sendiri menyangkut tanggung jawab dan kewajiban dari manusia sebagai manusia.

Aristoteles mengatakan bahwa identitas manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya terdapat bila warga negaranya baik. Jadi seseorang yang tidak menyukai tindakan amoral dia akan baik sebagai manusia tetapi akan buruk sebagai warga negara bila negara mensahkan tindakan amoral tersebut. Contohnya adalah perjudian dsb.

B. Etika sebagai Cabang Ilmu Filsafat

Etika politik merupakan cabang khusus dalam lingkungan filsafat yang menyangkut atau berkaitan dengan tanggungjawab dan kewajiban manusia, sekali lagi. Dalam hal ini, diutamakan bagi pemegang kekuasaan (politikus, pejabat, dll.) dalam memutuskan kebijakan dan pertanggungjawaban keputusan serta pengaruhnya pada publik. Etika masuk kedalam Ilmu Filsafat yaitu filsafat yang langsung mempertanyakan praktis manusia. Etika politik merupakan etika khusus yang mempertanyakan kewajiban manusia. Contoh etika politik adalah bagaimana seorang pemegang kekuasaan mempertanggungjawabkan kekuasaan dan menjalankan kewajiban atas kekuasaan yang diperolehnya. Hal ini dengan tidak melakukan tindakan-tindakan amoral seperti korupsi, asusila, pembunuhan dll.

C. Korupsi dan Tanggung Jawab Politik Moral

Terdapat sebab-sebab terjadinya korupsi. Ini dapat dihubungkan dengan konsep "Banalisasi," atau disaat suatu hal sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Korban korupsi sendiri sering tidak berwajah, namun justru lebih dahsyat karena yang dirampok adalah uang negara. Banalisasi ini pun terkait dengan konsep "Impersonalisasi Korban Korupsi," dimana korban tidak diperlakukan sebagai pribadi tapi adalah musuh (berupa benda mati). Selain itupun dapat dikaitkan dengan konsep "Lemahnya Kesadaran Reflektif Pelaku Korupsi." Hal ini maksudnya adalah lemahnya kesadaran pelaku korupsi, yang seharusnya kesadaran ini dapat dimunculkan untuk menjaga jarak pada situasi dimana seseorang sadar untuk melakukan/tidak melakukan hal buruk sebagai pertimbangan kritis. Konsep selanjutnya "Impuniti" atau ketiadaannya sanksi hukum dapat menyebabkan korupsi kian merajalela.

Mereka tidak merasa bersalah akibat nikmat yang didapatkannya lebih besar daripada konsekuensi berupa rasa sakit. Prestasi juga sebagai anggapan pantasnya (pejabat, militer, dll.) melakukan korupsi. Maka korupsi sudah menjadi terstruktur, dari korupsi jalan pintas (upeti), tidak merasa bersalah karena dilakukan bersama-sama,
"mekanisme silih kejahatan" bahwa korupsi jika tidak dibagi-bagi justru tidak aman. Orang yang melakukan korupsi atas dasar keamanan, perlindungan seperti pejabat militer yang diletakan didalam direksi perusahaan. Akhirnya ada hubungan dengan tanggung jawab politik moral bahwa korupsi telah meruntuhkan pilar bagi tanggung jawab moral politisi. Korupsi sangat tidak etis dihubungan dengan cara moral bahwa semua pejabat dalam hubungannya dengan birokrasi dibutuhkan oleh masyarakat dan bertanggung jawab atau bertanggung gugat atasnya. Legitimasi etis menuntut hal itu.

D. Legitimasi Etis dan Legitimasi Religius dalam Etika Politik

Masalah legitimasi (legalitas/kesahihan) atau pengakuan dari masyarakat bagi penguasa terutama legitimasi etis diperkuat setelah pendobrakan terhadap legitimasi religius yang secara historis terjadi 2000 tahun yang lalu. Setelah semakin berkurangnya legitimasi religius karena semakin banyaknya kesadaran dan mempertanyakan atas hak dasar/moral apa seseorang berkuasa dan menjalankan kekuasaanya. Legitimasi etis adalah pengakuan secara sah kekuasaan penguasa, ia dipilih oleh masyarakat, diberikan wewenang untuk menjalankan pemerintah, kekuasaannya akan langgeng seiring dengan UU yang dijalankannya. Dan intinya, ia memiliki pertanggungjawaban, mampu diturunkan rakyatnya dan menjalankan etika politik sebagai suatu keharusan.

Etika politik yang tidak memiliki pertanggungjawaban secara moral hanya dimiliki pada kekuasaan yang didapatkan berdasarkan legitimasi religius. Hal ini karena penguasa (biasanya raja-raja Jawa Tradisional), tidak dipilih oleh masyarakat tapi dianggap mampu menjadi perantara dunia manusia dan dunia alam (makrokosmos dan mikrokosmos). Ia dianggap bukan manusia melainkan titisan dewa atau raja yang memiliki kekuasaan adi-dunia (dibahas secara lengkap dalam Pemikiran Politik Indonesia Lama).


Chynthia Devi, S.IP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar