Total Tayangan Halaman

Jumat, 21 Oktober 2011

Pemerintah dan Politik Desa

Pemerintah Dan Politik Desa Kontinuitas Konsep Hubungan Pusat dan Daerah

A. Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Otonomi Daerah

Kawan pembaca yang setia, membicarakan kontinuitas hubungan pusat dan daerah bisa kita mulai dari UU Pemerintah Daerah. Apa saja yang bisa kita ketahui dalam UU tersebut tentang pengaturan daerah? inilah sedikit pembahasannya.

Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari pusat pada daerah, sedangkan dekonsentrasi merupakan penyerahan wewenang dari kepala pemerintahan pusat ke pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan (hak) pada daerah untuk prakarsa dan membangun daerahnya sendiri.
Seperti dalam UU No. 22 tahun 1999, hubungan pusat dan daerah digambarkan dengan adanya wewenang mengurus hak otonomi bagi daerah. Pusat merupakan wilayah administrasi terdiri dari Pemerintah Daerah dan Lembaga legislatihnya (DPRD untuk wilayah provinsi misalnya). Pada UU. No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi diutamakan bagi kabupaten (yang dipimpin bupati) dan kotamadya (yang dipimpin walikota. Sebelumnya, dalam UU. No. 5 tahun 1974 otonomi pada daerah kabupaten Tk. II dan Kotamadya Tk. II. )

Otonomi dilaksanakan berdasarkan otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Pada UU No. 5 tahun 1974, bukan konsep desentralisasiyang diutamakan, tetapi konsep sentralisasi, dimana pengaturan untuk daerah masih dilaksanakan oleh pusat. Contoh kasus ini yakni yang terjadi pada Rejim Seoharto, pusat mengikat daerah sedemikian rupa melalui sentralisasi, aparat daerah merupakan "drop-dropan" dari pusat yang tentu saja lebih loyal kepada pusat. Hal ini dikarenakan negara yang menguasai hampir seluruh aspek dalam ranah publik. Ahli ekonomi yang membuat kebijakan, ABRI sebagai stabilitator, dan Birokrasi yang menjalankan (mengenai ABRI dan Birokrasi akan dibahas dalam tulisan yang lain).

Seiring dengan turunnya Soeharto, reformasi muncul atas penekanan dari luar dan dalam. Masyarakat yang telah berpeluang dalam pendidikan, informasi yang terbuka lebar, menyadarkan mereka atas pemerintahan yang menyimpang dari konteks negara. UU yang muncul setelah UU No. 22 tahun 1999 meskipun dibuat dengan mengutamakan asas demokrasi, meningkatkan dan mengembangkan fungsi DPRD, perimbangan keuangan dalam kerangka NKRI, dan pemanfaatan SDA yang berkeadilan, implikasinya tetap menimbulkan konflik. Banyak pihak yang pro dan kontra, kedua pihak saling kokoh, pro menyatakan UU lebih demokrasi, Daerah diberi kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur daerah. Namun pihak yang kontra menyatakan kebijakan dalam UU tersebut terlalu liberal.

Berbagai masalah memang terjadi, hal ini seperti: konflik DPRD dan pemerintah daerah dalam Laporan Pertanggung jawaban (LPJ), perebutan sumber daya alam daeah, yang kaya lebih kaya dan makmur, sedangkan daerah yang miskin sengsara karena tidak memadainya sumber daya alam daerah yang memadai untuk mengatur dan membangun daerahnya, muncullah raja-raja kecil di daerah tersebut, politik konflik pilkada, dsb.

B. Dominasi Kekuasaan Legislatif (DPRD) terhadap Kekuasaan Eksekutif
(Bupati, Gubernur, dll.) dalam Implementasi UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah


Dalam kenyataannya, meskipun UU No. 32 tahun 2004 dibuat untuk merevisi kelemahan-kelemahan UU No. 22 tahun 1999, implementasinya tetap menyimpang. Pada UU. Terdapat kebijakan yang "setengah hati", dalam UU No. 34, daerah yang sebelumnya diberi kewenangan seluas-luasnya, kecuali urusan fiskal, hubungan Internasional, pertahanan dan keamanan, dsb., dalam UU baru ini, hak-hak daerah justru diambil kembali (ditarik) oleh pemerintah pusat. Begitupun penetapan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dalam implikasinya diatur oleh pusat. Melalui pajak-pajak, keuangan daerah yang seharusnya sebagaimana asas perimbangan keuangan (seperti dalam UU No. 25 tahun 1999 tentang hubungan perimbangan keuangan pusat dan daerah), daerah justru mendapatkan bagian lebih kecil. Hal ini terjadi akibat tidak adanya hierarki (menjadi kelebihan di rejim Soeharto), justru tidak ada kontrol atau "Check and Balance." Melalui patronase partai politik, legislatif daerah / DPRD bisa lebih menguasai (mendominasi) kekuasaan eksekutif. Seperti sebelumnya, Gubernur, Bupati (eksekutif) dipilih oleh atau melalui DPRD, eksekutif akhirnya terpaksa "di rong-rong" oleh DPRD, dalam hal ini patuh atau loyal kepada yang lebih kuat.

C. Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat Desa

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, lembaga perwakilan rakyat adalah BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Fungsinya adalah pengawasan atau "control" kepada eksekutid desa (kepala desa dan perangkatnya). Namun, BPD tidak dapat menuntut pertanggung jawaban kepada kepala desa karena kepala desa bertanggung jawab kepada kabupaten diatasnya. BPD hanya diberikan laporan keterangan saja. Hal ini membuat tidak adanya mekanisme "Check and Balance", tidak seperti pada UU sebelumnya (UU No. 22 tahun 1999), dimana kedudukan mereka seimbang. Hal ini berkaitan dengan aura resentralistis yang kuat, terutama dengan perlunya persetujuan Menteri Dalam Negeri untuk membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan desa setelah berada ditangan DPRD. Maka perubahan Badan Perwakilan Desa ke Badan Permusyawaratan Desa, sama kasusnya dengan DPD yang tidak dapat dominan dalam ikut membuat keputusan tentang kebijakan daerah atau hanya bisa mengusulkan.

D. Kedudukan DPRD dan Pemerintah Daerah serta Kualitas Akuntabilitas DPRD

Kedudukan DPRD sejajar dengan Pemerintah Daerah. Keanggotaan DPRD dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat, agar DPRD dapat meningkatkan akuntabilitas kepada rakyat yang telah memilihnya. Menurut saya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas akuntabilitas anggota DPRD mulai dari UU hingga perekrutannya. UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menunjukkan daerah masih mendapat bagian yang sedikit dari pusat, hal ini menyebabkan pengelolaan DPRD kurang memadai di kebanyakan daerah.

Menurut penelitian dari Lili Romli, dalam Bukunya "Potret Otda," birokrasi di daerah sendiri gemuk, kedisiplinan kurang, pekerjaan lambat dan akuntabilitas pada publik kurang, terlalu banyak yang mengurusi dirinya sendiri daripada mengurusi rakyat. Perekrutan juga menjadi sebab selain karena pengawasan kurang, karena DPRD langsung mewakili rakyat. Banyak terjadi Bargaining-Parler antara anggota DPRD, antara anggota DPRD dengan Kepala Daerah dan relasi yang tidak jelas kewenangannya di Provinsi, Kab/Kota sehingga terjadi tarik-menarik kekuasaan, politik uang, konflik dalam Pilkada, perekrutan Partai, ketergantungan dll. DPRD sibuk mencari uang untuk membayar hutang daripada mengurusi rakyatnya. Solusinya yakni sistem yang transparan sifatnya.

E. Birokrasi Lokal dalam Pelayanan Publik

Seperti yang diketahui, reformasi birokrasi masih merupakan produk baru, telah lama birokrasi Indonesia dicengkram dengan aturan daerah dan pusat yang sentralistis. Desentralisasi yang diupayakan sejak masa Soekarno disalahgunakan dimana sekarang telah menjadi gemuk, terutama karena otonomi riil yang menyerahkan kewenangan di daerah. Sentralisasi justru pindah ke daerah-daerah. Daerah yang kaya, kepala daerahnya dapat semakin kaya karena daerahnya yang kelebihan sumber daya dapat dikelola sendiri. Kepala daerahnya pun pasti merekrut semakin banyak orang yang dekat atau dianggap sesuai dengannya untuk melestarikan kekuasaannya.

Daerah yang tidak bisa membangun adalah yang Kepala Daerahnya tidak kreatif, padahal kita bisa melihat Banten yang mampu melaksanakan Otonomi dan Birokrasi yang baik bagi masyarakatnya. Menurut saya, pelayanan publik yang rendah oleh birokrasi juga diakibatkan terlalu banyaknya alur birokrasi yang dibuat sendiri oleh Kepala Daerah. Sedangkan kesejahteraan daerah banyak terlantar karena tidak didukung oleh perangkat daerah yang sering bekerja secara sendiri. Solusi seharusnya, perekrutan birokrasi dan masalah kepegawaian kembali diatur oleh pusat. dan kendala terberatnya sendiri adalah yang menggaji para birokrat itu sendiri adalah pemerintah daerah, sehingga pusat tidak boleh campur tangan. Ini akhirnya akan dikaitkan dengan "Good Governance." Menurut UNDP, konsep ini mengandung pemahaman bahwa antara pelaksana-pelaksana kekuasaan-kekuasaan pemerintah harus diikuti oleh faktor-faktor moral, agar terjadi tata pemerintahan yang baik.





(Chynthia Devi).


Penulis adalah Sarjana Ilmu Politik dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta